Jumat, 26 Februari 2010

LPI oh LPI

Ironis. Liga Pelajar Indonesia atau Liga Pendidikan Indonesia (LPI) di Bekasi tak terdengar gaungnya. Liga yang sejak tahun lalu digadang-gadang bakal menjadi dapur tempat meracik pemain nasional ini senyap di Bekasi.

Sejak dibuka pendaftaran LPI di Kabupaten Bekasi pada 1 Februari, jumlah peserta yang mendaftar hingga Rabu (24/2) hanya berjumlah 15 tim. Terdiri dari 12 tim dari sekolah menengah pertama (SMP) dan 3 tim SMA. Padahal, pendaftaran ditutup pada 28 Februari ini.

Bandingkan dengan jumlah sekolah menengah di Kabupaten Bekasi yang mencapai 474 sekolah (terdiri dari 342 SMP dan 132 SMA). Sepuluh persennya saja panitia LPI tak bisa menjaring sekolah. Ini sangat ironis.

Di Kota Bekasi, penyelenggaraan LPI juga setali tiga uang. Peserta memang lebih banyak dari kabupaten, yakni 50 sekolah, tapi masih sangat sedikit jika melihat total jumlah SMP dan SMA di kota ini yang mencapai 458 sekolah.

Pertanyaannya, apa yang dikerjakan panitia? Padahal liga ini dipanitiai trio instansi pemerintah, yakni dinas pendidikan, dinas olahraga, dan Pengcab PSSI daerah. Ketiganya merupakan instansi yang bisa dengan mudah meminta sekolah untuk menjadi peserta. Apalagi jaringan mereka sangat luas, terutama dinas pendidikan yang terbiasa mengurusi sekolah.

Alasan yang terlontar dari Panitia Bidang Seleksi Pemain LPI Kabupaten Bekasi, Agung Suganda, justru tidak masuk akal. Menurutnya, banyak sekolah yang tak berminat ikut serta dalam liga ini (Radar Bekasi, 25/2). Padahal, publikasi yang dilakukan panitia hanya menyebarkan pamflet ke sekolah-sekolah. Tidak lebih dari itu.

Sebagai salah satu unsur kepanitiaan, Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi seharusnya mampu “memaksa” sekolah untuk ikut serta dalam LPI. Kepala dinas bahkan sangat mungkin mengeluarkan surat sakti yang isinya: Meminta dengan sangat setiap sekolah untuk ikut serta. Bisa juga diberi embel-embel: Ini untuk kemajuan persepakbolaan Indonesia. Lebih bagus lagi jika ada kalimat: Kita akan sangat bangga jika ada anak Bekasi yang bermain membela Indonesia.


Jika itu dilakukan, mustahil peserta yang mendaftar hanya 15 sekolah. Saya yakin akan lebih dari itu. Apalagi kepala dinas yang menyuruh. Kepala sekolah pasti akan manut. Terlebih, ini adalah kegiatan yang sangat positif untuk perkembangan generasi muda Bekasi. Apalagi peserta yang berhasil menjadi jawara di liga ini akan mewakili Kabupaten Bekasi ke tingkat provinsi, bahkan mewakili Indonesia di ajang internasional.

Sebagaimana spirit pembentukannya, LPI dicetuskan setahun lalu oleh PSSI karena melihat kesuksesan Danone National Cup (DNC). Turnamen ini oleh PSSI sengaja diselenggarakan mulai dari tingkat daerah, wilayah, hingga tingkat nasional. Dengan harapan, bisa menemukan pemain Indonesia yang berbakat dan menjadi tumpuan persepakbolaan Indonesia di masa mendatang.

Tengok saja bagaimana menjanjikannya DNC sebagai cikal bakal LPI. Melalui DNC, nama Indonesia pernah harum di pentas internasional. Tercatat, prestasi tertinggi Indonesia di Final Dunia DNC adalah ketika menjadi peringkat empat tahun 2006.

Selain itu, tim Merah-Putih juga mendapat anugerah The Best Defence Team karena gawangnya hanya kebobolan satu kali. Di tahun 2005, Indonesia pun mendapat penghargaan The Best Attack Team karena memecahkan rekor gol terbanyak sepanjang sejarah DNC, yakni 24 gol.

Terus terang, potensi LPI sangat besar mendorong persepakbolaan Indonesia jika digarap maksimal oleh panitia dari tingkat bawah hingga atas. DNC saja yang dikelola perusahaan swasta mampu menggaungkan nama Indonesia di dunia.

Kembali lagi ke Bekasi, panitia lokal ternyata tak mengendus potensi liga ini. Jika panitia LPI Kabupaten Bekasi mengeluh minimnya peserta, panitia LPI di Kota Bekasi malah sibuk mengeluh soal teknis pengawasan umur peserta.

Itu adalah bukti bahwa even sebagus apapun akan tak berarti jika pengelolaannya amburadul. Hasilnya, LPI di Bekasi tak “berbunyi”. Panitia tingkat lokal sepertinya tak tahu bagaimana caranya menyelenggarakan even dengan baik. Mereka juga seperti tak mau tahu dengan cita-cita awal tercetusnya LPI. Bahkan untuk sekadar memikirkan cara memublikasikan adanya turnamen ini pun mereka tidak bisa.

Jika di tahun-tahun mendatang kondisinya tetap seperti ini. Saya yakin, anak-anak Bekasi yang mungkin punya bakat bermain sepak bola, tak akan pernah terendus. Persepakbolaan Indonesia juga akan mandek. Dan tampil di turnamen sekelas Piala Dunia selamanya hanya mimpi.

Minggu, 21 Februari 2010

Trauma Bukan lawanmu, Mardi!

Selama membela Persipasi Bekasi, Mardiansyah baru diturunkan dua kali. Ia kadung dibekap cedera lutut saat melawan mantan timnya Persikabo Bogor pada 29 November tahun lalu. Sejak saat itu, Mardi, sapaan Mardiansyah, hanya bisa duduk manis di tribun penonton.

Kedatangan Mardi di awal musim sempat menggelembungkan asa Persipasi untuk mengarungi Liga Joss Indonesia (Divisi Utama) untuk pertama kalinya. Apalagi pemain berusia 31 tahun ini datang dengan cap sebagai satu dari tiga top skor Divisi Utama musim 2008/2009 dengan 17 gol.

Lebih membanggakan lagi, ia adalah satu-satunya pemain asli Indonesia yang menjadi top skor. Dua yang lain adalah pemain impor, J.P. Boumsong (saat masih di Persikad Depok) dan Herman Dzumafo (PSPS Pekanbaru). Patut dicatat, Mardi juga merupakan pemain asli Bekasi. Ia adalah satu dari anak berbakat Bekasi yang bisa malang-melintang di persepakbolaan nasional.

Jadi, sudah garansi, jika Mardi dalam kondisi fit, ketajaman kakinya mampu meneror gawang tim lawan. Ia mungkin mampu membawa Persipasi bersaing dengan Semen Padang di puncak klasemen.

Namun, hingga memasuki putaran kedua, Mardi tak kunjung diturunkan. Sudah hampir tiga bulan aksinya hilang di lapangan. Persipasi praktis sangat kehilangan pemain serbabisa ini. Dan ketiadaannya membuat produktivitas gol Persipasi sangat kering. Ngevasi Gana yang diharapkan mampu mengisi kekosongan Mardi malah bermain mengecewakan. Permainannya ternyata tak sebagus badannya.

Di akhir putaran pertama, Persipasi hanya mampu parkir di peringkat keempat dengan torehan 12 gol dari 10 pertandingan. Ironisnya, setengah dari jumlah itu dicetak oleh Stephen Nagbe Mennoch, pemain yang berposisi sebagai gelandang.

Meraih posisi empat besar bagi tim promosi sebenarnya merupakan prestasi, tapi saya sebagai penggemar Persipasi, tentu kecewa. Dengan materi yang menggabungkan pemain muda dan pemain kawakan yang sudah merasakan aroma Timnas, Persipasi harusnya bersaing di tiga besar.

Asa kembali lewat di putaran kedua. Persipasi kedatangan mantan pencetak gol terbanyak, J.P. Boumsong. Mardi juga sudah mulai berlatih. Cedera lututnya sudah pulih total. Saya kembali membayangkan, jika kedua mantan top skor ini bermain bersamaan, Persipasi bisa jadi mampu menebar ancaman. Apalagi didukung lini tengah yang tangguh dengan datangnya dua pemain penuh determinasi Alex Robinson dan pemain muda berbakat Ruben Karel.

Dengan catatan, Mardi harus bisa keluar dari trauma pascacederanya. Warta enggan memasangnya jika Mardi masih ketakutan saat ia menguasai bola. Ini terlihat saat sesi latihan terakhir (15 Februari 2010) sebelum bertolak ke Riau untuk menghadapi Persih Tembilahan. Mardi terlihat masih ketakutan. Pergerakannya sangat hati-hati. Saat dimainkan dalam sesi small game, ia juga masih terlihat kikuk dan pertahanan dirinya berlebihan.

Wajar jika Mardi tak diikutsertakan ke Riau. Warta amat hafal efek traumatis setelah cedera. Ia dengan mantap mengambil keputusan untuk mengistirahatkan Mardi hingga dua pertandingan ke depan.

Lalu apakah Mardi bisa mengatasi traumanya? Saya jadi teringat saat dia bermain untuk Persikabo. Pergerakannya dinamis. Walaupun posisinya sebagai gelandang, ia mampu merangsek hingga ke kotak penalti lawan. Gol demi gol ia ciptakan melalui kaki, kepala, hingga tendangan bebasnya.

Tidak lupa, selepas mencetak gol, ia kerap mendatangi penonton. Saya mengartikan aksi itu adalah sebuah ucapan terima kasih dan pembuktian bahwa ia pantas berada di lapangan untuk mencetak gol. Penonton pun langsung gerr. Ia dipuja bak pahlawan. Itu adalah aksi Mardi saat bermain untuk tim di luar tanah kelahirannya.

Nah, sangat manja jika Mardi kalah oleh trauma. Apalagi saat ini ia bergabung dengan tim dari tanah kelahiran sendiri yang sudah lama merindukan kompetisi Liga Utama. Mardi bisa lebih dari sekadar menyingkirkan trauma pascacedera. Ia lahir untuk menciptakan gol demi gol.

Jumat, 12 Februari 2010

Kenapa Koni Kota Bekasi tak Percaya Diri?

Perolehan 53 emas pada Kualifikasi Pekan Olahraga Daerah (Porda) XI Jawa Barat tak membuat Koni Kota Bekasi percaya diri. Indikasinya, hingga H-3 pengukuhan atlet yang akan diberangkatkan pada Porda XI, Koni masih emoh pasang target konkret.

Padahal, ajang kualifikasi adalah cermin menatap ajang sebenarnya. Ajang kualifikasi juga bisa diartikan sebagai proyeksi sebuah kontingen untuk mengukur kemampuan di ajang final, yakni Porda.

Dan perolehan 53 emas dari 50 emas yang ditargetkan Koni adalah angka realistis. Mestinya angka itu menjadi modal Koni untuk pasang target di Porda XI Juli mendatang. Paling tidak bertekad menyamai perolehan emas seperti di kualifikasi. Lebih bagus lagi jika lebih.

Alih-alih menetapkan target konkret, Ketua Harian II Koni Kota Bekasi, Eddie Prihadie, malah memasang target yang abstrak. Menurutnya, Koni menargetkan sukses ganda, yakni sukses dalam prestasi dan sukses memberdayakan masyarakat (Radar Bekasi, 1 Februari).

Sukses ganda itu jelas target abstrak. Atlet, saya yakin, akan kesulitan menerjemahkan sukses dalam prestasi maupun sukses memberdayakan masyarakat seperti yang dikatakan Eddie.

Sebagai salah satu petinggi Koni, Eddie seharusnya melemparkan target yang konkret. Ia tentu tahu kemampuan atlet binaannya. Apa salah dan susahnya menetapkan target yang konkret. Raihan 53 emas di ajang kualifikasi adalah konkret. Lalu kenapa Koni enggan menargetkan jumlah emas? Toh, saat kualifikasi saja sudah terbukti bahwa atlet Kota Bekasi bisa melampaui target.

Apalagi seluruh pengurus cabang olahraga yang berada di bawah naungan Koni sudah mempersiapkan atlet sejak setahun lalu. Dibentuk pula satuan petugas yang bertugas memantau siapa atlet yang pantas dan tidak pantas mewakili Kota Bekasi di ajang empat tahunan itu.

Ditambah, saat ini para atlet terus digembleng dalam pemusatan latihan cabang hingga Juni mendatang atau sebulan sebelum laga Porda. Persiapan yang lebih dari cukup untuk mengetahui kekuatan internal.

Target baru tersembul pada acara pengukuhan atlet pada 3 Februari lalu di Balai Patriot. Di hadapan 382 atlet yang akan diberangkatkan ke Porda XI/2010, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad dalam sambutannya langsung memasang target konkret: 46 emas. Sedikit di bawah perolehan emas pada ajang kualifikasi.

Mochtar bahkan menjanjikan bonus Rp45 juta plus berangkat umroh bagi peraih emas. Jika benar Kota Bekasi mampu meraih sedikitnya 46 emas, berarti Pemkot Bekasi harus mengeluarkan Rp2,07 miliar. Itu belum termasuk biaya umroh untuk 46 orang yang bisa mencapai Rp506 juta (standar umroh adalah Rp11 juta). Bonus yang amat tinggi demi 46 emas atau menjadi lima besar.

Seharusnya, dengan bonus setinggi itu, Pemkot Bekasi juga berani menargetkan emas lebih banyak lagi. Jangan segan-segan memasang target menjadi juara umum. Walaupun nantinya tak tercapai, paling tidak sudah punya keberanian. Dan yang lebih penting, target yang tinggi merupakan sebuah apresiasi tersendiri bagi para atlet karena mereka dipercaya bisa berprestasi.(*)

Jumat, 05 Februari 2010

Hanya Perlu Pemahaman, bukan Pengadilan

Lagi-lagi pasal KUHP. Lagi-lagi anak-anak diperlakukan seperti orang dewasa. Tiga hari lalu lima anak diadili di Pengadilan Negeri Bekasi. Mereka disidang atas tuduhan menghilangkan nyawa anak lain pada sebuah tawuran di malam suci Ramadan di Perumahan Jaladapura, Margahayu, Bekasi Timur pada 31 Agustus 2009.

Atas perbuatan itu, jaksa menjerat mereka dengan dua pasal KUHP, yakni pasal 170 dan pasal 359. Kelimanya terancam lima tahun penjara. Kelimanya juga terancam kehilangan masa depan.

Memang ulah lima anak yang mengikat ujung sarung tarawih dan memukulkannya saat tawuran menyebabkan kematian, tapi mengapa harus dijerat pasal pidana? Status mereka masih di bawah umur. Masih berseragam putih-merah pula. Polisi juga secara serampangan sempat membui mereka selama lima hari di Polsek Medan Satria.

Masih belum hilang dalam ingatan ketika seorang bocah yang juga seumuran lima bocah asal Bekasi itu, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Ia yang baru mengenyam bangku kelas 3 SDN Dr Sutomo, Surabaya, harus bolak-balik pengadilan untuk mengikuti persidangan. Padahal, kasusnya sepele, hanya iseng menempelkan seekor lebah pada pipi teman perempuannya saat pulang sekolah.

Hanya karena orang tua si korban adalah seorang komisaris polisi di Kepolisian Daerah Jawa Timur, bocah ini dilaporkan. Kasusnya kemudian diproses ke pengadilan sebagai tindak penganiayaan.

Dan pada 1 Februari lalu bocah ini divonis bersalah. Ia memang tak dipenjara. Hukumannya pun hanya dikembalikan ke orang tuanya untuk dididik lebih baik. Tapi, efek traumatis akan terus melingkupi dia hingga akhir hayatnya. Masa depannya bisa jadi koyak

Hal yang lebih berat mungkin akan diterima lima bocah asal Bekasi yang menjadi terdakwa pembunuhan. Padahal, sebelum kasus ini masuk meja kepolisian dan kejaksaan, pihak keluarga korban sudah menyatakan tidak akan menindaklanjuti kasus itu ke meja hijau (Radar Bekasi, 5 Februari).

Toh, sekarang kelima bocah itu sudah disidang. Jaksa penuntut umum bahkan mengancam mereka dengan ancaman pidana kurungan lima tahun penjara.

Polisi dan jaksa sangat serampangan dalam hal ini. Kedua institusi ini seharusnya tak langsung memidanakan mereka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa pengadilan adalah institusi terakhir untuk mengeksekusi mereka.

Di Pasal 5 ayat 2 UU itu tertera bahwa penyidik harus benar-benar meneliti dulu kasus itu. Jika memang mereka masih bisa dibina orang tuanya, janganlah langsung ditetapkan sebagai tersangka. Kalau pun perbuatan mereka sedikit keterlaluan, tengok ayat 3. Di situ disebutkan bahwa lebih baik mereka dimasukkan ke Departemen Sosial untuk dibina daripada dilimpahkan ke pengadilan.

Dengan demikian, seharusnya penyidik mengunakan kewenangan diskresi (penyelesaian perkara tanpa proses pemidanaan) dalam kasus ini. Apalagi pihak keluarga korban sudah bersedia membuka pintu perdamaian.

Di lain pihak, orang dewasa, dalam hal ini orang tua anak, seharusnya juga bisa memberi rambu-rambu terhadap pergaulan anak-anaknya. Anak-anak butuh perhatian. Anak-anak juga punya logika sendiri yang perlu dipahami orang dewasa, bukan diadili.

Pengarang Perancis, Antoine de Saint Exupéry, dalam novelet Le Petit Prince (Pangeran Kecil) pernah membuat perumpaman cerdas untuk memahami keinginan bocah. Sang pengarang menunjukkan sebuah gambar multitafsir. Orang dewasa menganggap gambar itu sebuah topi, sedangkan anak-anak berimajinasi bahwa gambar itu adalah seekor ular yang sudah memakan gajah.(*)

Persipasi, Lokomotif Pembakar Semangat

Bertengger di peringkat empat wilayah I Divisi Utama (Liga Joss Indonesia) merupakan prestasi tersendiri bagi Persipasi Kota Bekasi. Apalagi Laskar Patriot merupakan tim pendatang baru di kompetisi level kedua nasional ini.

Bandingkan dengan tim sewilayah macam Persita dan PSMS yang notabene pernah merasakan atmosfer kompetisi tertinggi di Indonesia. Persipasi hanya kalah satu poin dari Pendekar Cisadane dan unggul jauh dari tim Medan (5 poin) yang diarsiteki pelatih berpengalaman Suimin Diharja.

Semua berkat sentuhan magis dari Warta Kusuma bersama jajaran pelatih lain. Berlatar sebagai warga Bekasi asli yang peduli persepakbolaan Bekasi, Warta menyulap Persipasi menjadi tim yang disegani. Catatan enam kali menang (termasuk lawan Persita dan PSMS) dan empat kali kalah merupakan prestasi tersendiri bagi pelatih yang pernah menangani Perserang Serang ini.

Parkir di peringkat empat tentunya membuat bangga warga Bekasi yang sudah lama haus pada prestasi sepak bola lokal. Keberadaan Persipasi membuat mereka kembali berbondong-bondong datang ke Stadion Patriot.

Warga berbaur. Bagi warga yang sudah uzur, mereka bisa bernostalgia lagi dengan masa-masa emas sepak bola Bekasi. Sementara warga yang masih muda, mereka berteriak kegirangan sambil bermimpi timnya melangkah jauh menembus Indonesia Super Liga (ISL), kontes sepak bola tertinggi di tanah air.

Kehadiran Persipasi memang menjadi alternatif keguyuban masyarakat di tengah sumpeknya situasi Kota Bekasi yang semakin padat dengan bangunan-bangunan menjulang tinggi.

Semangat warga Bekasi ini tentu harus dimanfaatkan betul manajemen Persipasi untuk bisa lebih bertenaga lagi tampil di putaran kedua Divisi Utama yang akan berlangsung awal Februari ini. Kemenangan demi kemenangan harus ditorehkan agar Persipasi bisa menduduki peringkat pertama dan berpromosi ke ISL.

Dan yang harus buru-buru dibenahi Persipasi adalah rekor tandang mereka di putaran pertama. Dari empat laga tandang, Persipasi hanya berhasil meraih tiga poin dari satu kemenangan melawan PSDS Deli Serdang. Ini tentu harus segera dibenahi. Apalagi di putaran kedua Persipasi lebih banyak bertanding di luar kandang (6 laga).

Sementara untuk empat laga kandang di putaran kedua nanti, Persipasi wajib menang. Modal lima kemenangan dari enam laga di putaran pertama harus dijadikan pengalaman yang positif bagi Laskar Patriot.

Jika skenario ini bisa terlaksana, niscaya Persipasi akan berjalan tegak menuju kompetisi tertinggi di Indonesia. Lebih dari itu, Persipasi juga punya andil membakar semangat masyarakat Bekasi untuk bertarung gigih demi mengembangkan prestasi. Selamat berjuang, Persipasi.(*)

Ambisi di Ruang Sunyi

Saya membayangkan Bambang Pamungkas langsung menyambar laptop begitu selesai mandi usai membela Tim Nasional atau Persija. Walaupun keringatnya belum kering benar dan masih terus-menerus keluar dijidat, ia antusias menulis di situs pribadinya.

Bambang memang seorang yang pendiam di kalangan wartawan. Ia dikenal sebagai pemain yang pelit ngomong atau komentar. Akibat ulahnya, banyak wartawan yang sinis padanya. Bambang kerap langsung masuk ke ruang ganti jika pertandingan usai, baik ketika timnya menang (dan dia mencetak gol) maupun saat timnya kalah dan permainannya dicemooh penonton.

Tapi di dunia maya mantan pemain yang pernah merasakan Divisi III Liga Belanda ini cerewet. Informasi yang ia berikan bahkan jauh dari sebatas menjawab pertanyaan wartawan. Pernyataannya menembus dinding-dinding ruang ganti. Tak jarang membuka kegelisahan pribadi teman-temannya. Data yang notabene sulit diperoleh wartawan.

Dan bertolak belakang dari pandangan miring pengkritiknya, nasionalisme Bambang sangat terasa. Ia rela dicaci ketika Timnas harus pulang lebih awal di semua ajang internasional yang diikutinya. Bambang tetap tegar dan percaya bahwa nasionalisme tidak lahir dari pemujaan dan sorak-sorai penonton. Nasionalisme justru lahir di dalam lubuknya. Di dua kakinya.

Masih dalam tulisan yang tercecer di bambangpamungkas20.com, BP pun rela ketika “bapaknya” sendiri (Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid) menyalahkan pemain atas kegagalan Timnas menembus Piala Asia baru-baru ini. Walaupun pahit, Bambang menerima kritikan itu. Dan ia hanya berharap seluruh pencinta sepak bola Indonesia bisa introspeksi diri. Inilah kebesaran hati Bambang.

Atas dasar kebanggaan pada tanah kelahiran pula Supriadi punya spirit yang sama dengan Bambang. Pelatih Persikasi Kabupaten Bekasi ini mampu membawa anak-anak muda yang sebagian besar warga Bekasi bisa menggenggam tropi juara Divisi II. Padahal, sebelumnya tidak banyak yang menaruh harap pada Persikasi di ajang kompetisi kasta empat di Indonesia ini. Jangankan harap, melirik saja enggan karena memandang rendah kasta kompetisi.

Supriadi seakan tak peduli dengan itu semua. Ia jalan terus. Ia hanya peduli pada anak-anak muda Bekasi yang lebih punya harapan. Ia asah mereka.

Sejatinya, Divisi II adalah kompetisi untuk para pemain yang masih setengah jadi: kompetisi untuk usia di bawah 23 tahun. Inilah titik pijak Supriadi. Ia tidak ingin anak-anak setengah matangnya membusuk. Ia ingin matangkan mereka agar mereka punya masa depan di jagad sepak bola.

Dan hanya melalui juaralah Supriadi bisa mengapungkan harapan mereka. Ternyata kerja kerasnya berhasil. Sanjungan, tepuk tangan, hingga dukungan datang kemudian. Mantan pengamen jalanan yang pernah hampir putus asa itu lagi-lagi membuktikan bahwa nasionalisme tidak abstrak. Ia konkret ketika dibenturkan dengan kerja keras. Sekali lagi, bukan dengan sanjungan dan sorak-sorai.(*)