Jumat, 28 Mei 2010

Surat dari Penggemar Fanatik Persipasi

Mohon maaf Bang Warta Kusuma, saya kecewa dengan Persipasi yang tak bisa promosi ke Liga Super. Saya tahu banyak faktor yang membuat Persipasi tak bisa merebut satu dari empat tiket promosi. Tetap saja, sebagai penggemar, saya kecewa.

Maklum, sejak pertama Persipasi menginjak Divisi Utama saya sudah berharap banyak pada tim ini. Agar Kota Bekasi bisa harum di daerah lain. Agar masyarakat lain setidaknya mengenal Kota Bekasi bukan sebagai tempelan dari Jakarta. Bekasi ternyata punya pembinaan sepak bola yang bagus. Begitu saya membayangkan jika Persipasi berprestasi.

Setiap hari saya melihat para pemain Persipasi berlatih di Stadion Patriot. Jangan tanya kalau setiap kali Persipasi bertanding, saya pun selalu hadir di tribun. Kecuali kalau Persipasi bertanding di kandang lawan yang jauh di luar pulau. Kalau masih di pulau Jawa, saya selalu meladeni datang. Apalagi pada babak delapan besar, saya tak pernah ketinggalan untuk menonton langsung di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo dan Stadion Gajayana, Malang.

Untungnya laga delapan besar diundur hampir sebulan, jadi saya bisa mengumpulkan uang dulu agar bisa pergi ke sana. Dan saya menyaksikan bagaimana Persipasi tak berkutik menghadapi Persibo, Deltras Sidoarjo, dan Persidafon.

Stadion Delta Sidoarjo amat megah. Saya sempat merasakan menonton di dua sudut pada dua pertandingan Persipasi di sana. Rumputnya lebih rapi dibandingkan dengan rumput di Stadion Patriot. Suporternya kompak. Mereka berderet dari satu tribun. Nyanyian tak pernah lepas dari satu komando.

Sebenarnya saya sempat khawatir. Ingatan akan perkelahian antarsuporter dan pengeroyokan suporter lawan oleh supporter tuan rumah, berseliweran di kepala saya. Tapi demi menyaksikan Persipasi, keberanian saya berlipat. Konsekuensinya, saya terpaksa hadir di stadion tanpa atribut tim kebanggaan. Dan maaf juga karena saya tak bergabung dengan kelompok suporter Bekasi yang memberanikan diri datang ke sana. Maafkan untuk itu.

Penampilan Arif Kurniawan dan teman-temannya tak membuat saya berdecak kagum ketika Persipasi dikalahkan Persibo Bojonegoro pada 18 Mei lalu. Geregetan sekali saya ingin berteriak untuk menyemangati para pemain idola saya itu. Sebagaimana saya sering memaki jika Persipasi bermain di kandang sendiri. Tapi saya tidak lupa, saya sedang berada di kandang lawan. Salah teriak sedikit, orang-orang akan memperhatikan saya. Jika bernasib buruk, mungkin kepala saya sudah memar-memar. Jadi saya urungkan walaupun hati saya bergemuruh.

Saya keluar stadion dengan tertunduk lesu. Tapi biarlah kehilangan tiga poin, pikir saya. Di pertandingan selanjutnya, pasti Laskar Patriot bisa berintrospeksi. Warta pasti bisa belajar dari kesalahan.

Dua hari berselang, stadion diliputi lautan merah. Gambar lobster di mana-mana. Kecut hati saya memasuki stadion. Saya memilih duduk di bangku netral, tentu dengan atribut netral pula. Di kejauhan saya melihat sekelompok kecil penonton berpakaian hijau stabilo. Melihat warna hijau, saya bangga sekaligus tak minder dengan dukungan penuh tuan rumah.

Di pertandingan melawan Deltras, Persipasi tampil dengan pola yang bagi saya bagus. Masih dengan tiga pemain belakang, tapi di tengah ada sedikit modifikasi. Saya melihat Mardiansyah main. Di depan Warta mengistirahatkan Boumsong. Saya mafhum dengan taktiknya, Boumsong memang kerap terlalu emosional. Wah, Warta pasti punya senjata rahasia. Saya jadi tak sabar menunggu tiupan pluit dari wasit yang dipimpin Untung.

Benar saja, Mardiansyah membuka gol bagi Persipasi. Sebelum akhirnya disamakan Deltras. Lagi-lagi saya kesal dengan wasit. Si Untung itu ternyata membuat kami rugi. Kalau ada benda keras di kantong saya dan saya sedang berada di Bekasi, saya lemparkan itu benda dengan sasaran kepala wasit. Dan untuk kedua kalinya, saya masih bisa menguasai diri. Saya tetap duduk manis sambil kaki ini tak bisa berhenti bergerak.

Pluit panjang berbunyi. Untung Persipasi tak kalah akibat ulah si Untung. Maaf, Bang Warta, saya agak kasar, tapi begitulah perasaan saya. Dan saya pun kembali kecewa pada Persipasi yang tak bermain ngotot. Mereka malah mengeluh karena ulah Untung. Namun yang penting, Persipasi masih punya peluang walaupun teramat kecil.

Di pertandingan terakhir, dengan uang di saku makin menipis, saya masih berharap Persipasi meraih kesempatan meraih poin penuh melawan Persidafon Dafonsoro. Tentu sambil berharap Deltras tersandung saat melawan Persibo Bojonegoro. Kali ini saya harus menyambangi Stadion Gajayana, Malang. Stadion ini tak kalah megahnya dibandingkan Delta. Udara yang semriwing membuat suasana hati saya sedikit tenang.

Hati saya remuk-redam. Persipasi kalah menyakitkan dari Persidafon. Skor 3-4 begitu menyakitkan. Lagi-lagi Persipasi tak mampu mempertahankan kemenangan. Tanda tak ada spirit kemenangan di masing-masing pemain. Maaf, Bang Warta, ini benar-benar membuat saya sakit hati. Mimpi berbulan-bulan saya buyar. Hanya satu poin dari tiga pertandingan dan menjadi juru kunci di klasemen terakhir delapan besar, sangat menyakitkan.

Saya kembali berkereta ke Bekasi. Di dalam kereta ekonomi itu saya kebanyakan bengong. Tak peduli dengan desak-desakan penumpang, saya duduk di bangku pojok sambil menatap ke luar.

Sampai di rumah, saya mendapati surat yang dicap Pemerintah Kota Bekasi. Isinya; saya dikeluarkan secara tidak hormat sebagai tenaga kerja kontrak karena sering membolos. Gaji yang sempat tertunda berbulan-bulan pun raib.(*)

Tulisan ini terinspirasi dari banyaknya sms yang masuk ke dapur redaksi Radar Bekasi terkait gagalnya Laskar Patriot maju ke empat besar Divisi Utama.

Sabtu, 15 Mei 2010

Persipasi dan Kisah Cinta Galih dan Ratna

 (foto: Firmanto Hanggoro)

Musuh terbesar tim sepak bola adalah pendukung mereka sendiri. Begitulah pepatah Inggris. Sejak Abad Pertengahan, Inggris sudah diganggu oleh ulah Hooligan, sebutan suporter fanatik Inggris yang agresif. Raja Edward II pada tahun 1314 bahkan melarang sepak bola karena khawatir dampaknya akan meluas menjadi kerusuhan sosial bahkan pengkhianatan. Setelah itu, tak terhitung banyaknya kerugian akibat ulah suporter.

Suporter dan tim sepak bola sebenarnya ibarat kisah cinta Galih dan Ratna. Keduanya satu paket. Satu marah, yang lain merah. Tapi, keduanya tak bisa dipisahkan walau badai menghadang. Genit memang, tapi begitulah sejarah sepak bola. Tak ada cinta tanpa ada pemuja.

Yang membuat pening kepala, jika tim sepak bola memiliki dua pemuja. Ibarat Galih yang memiliki selingkuhan. Belum jelas yang mana yang pantas disematkan sebagai selingkuhan, dua pencinta tim sepak bola Persipasi Kota Bekasi sudah adu otot.

Masing-masing mengklaim sebagai pendukung sejati Persipasi. Kedua kubu itu juga menganggap bahwa merekalah yang pantas disebut pacar pertama dan paling pas mendampingi Persipasi ke mana pun bertanding. Dengan segala embel-embel sejarah pendiriannya.

Adu otot itu mencapai puncaknya Rabu (12/5) lalu. Kedua kubu supporter sudah tak sabar untuk menunjukkan eksistensinya. Tiga orang terluka, beberapa kendaraan yang sedang terparkir di pelataran stadion menjadi korban juga. Inilah kerusuhan terbesar antardua suporter Persipasi sejak Persipasi bermain di Divisi Utama.

Yang memalukan, perkelahian ini juga terjadi saat Persipasi sedang melakukan uji coba untuk mempersiapkan diri menghadapi laga penting di delapan besar. Laga yang menentukan berhasil tidaknya Persipasi mendapatkan tiket ke kompetisi terbesar di Indonesia, Liga Super Indonesia. Mimpi yang selalu dipupuk para suporter sejak Persipasi mulai berlaga di Divisi Utama.

Laga persiapan itu kemudian buyar. Persipasi tak dapat bermain maksimal karena laga harus dihentikan di awal babak kedua akibat ulah dua pendukungnya. Jelas, kejadian ini mencoreng muka Persipasi. Tim pujaan kita ini juga bisa kehilangan konsentrasi menghitung kekuatan melawan tiga tim besar di Grup B delapan besar.

Tak mengherankan jika Pelatih Persipasi Warta Kusuma marah besar. Saking kesalnya, ia bahkan melontarkan, tak perlu lagi dukungan suporter jika terus berperilaku kasar. Kemarahan yang sangat wajar. Apalagi saat ini Warta sedang pening memikirkan bagaimana memoles timnya agar bisa meraih satu tiket Liga Super.

Konsentrasi Persipasi akan semakin buyar jika dua suporter ini tak cepat berbenah. Ingat, 18 Mei ini Persipasi sudah harus berlaga di delapan besar melawan Persibo Bojonegoro. Tanpa suporter, akan sangat berat pemain Persipasi untuk meningkatkan mental mereka.

Ada baiknya jika kedua suporter Persipasi saat ini segera berembuk dan memperkuat internal. Jauhkan dulu pikiran bahwa keduanya berbeda. Ingat, suporter Persipasi adalah sekerumunan orang yang mendukung Persipasi. Itulah persamaan kedua suporter ini, lepas dari atribut yang berbeda.

Jika persamaan yang diperkuat, saya yakin tubuh suporter juga tak akan mudah disusupi warna lain. Aktifkan kembali budaya silaturahim antarsuporter seperti yang dilakukan Bobotoh dan Viking, pendukung Persib Bandung. Saya yakin, ketika ada warna lain yang menyusup di saat suasana di stadion sedang panas, hati tetap dingin. Dan segelintir orang tidak akan bisa lagi memprovokasi suporter Persipasi. Dan akui bahwa Persipasi punya banyak pacar, punya banyak penggemar.

Jumat, 07 Mei 2010

Senjakala Persipasi

Selasa, 18 Mei mendatang gong delapan besar Divisi Utama berbunyi. Delapan tim akan berjibaku memperebutkan empat tiket promosi ke Liga Super Indonesia. Kesebelasan kebanggaan masyarakat Kota Bekasi, Persipasi, tergabung di Grup B bersama Persidafon Dafonsoro, Persibo Bojonegoro, dan Deltras Sidoarjo. Persaingan keempat klub diprediksi bakal ketat.

Sebelum membahas peluang Persipasi, ada baiknya kita berpaling pada pencapaian tim asuhan Warta Kusuma ini di putaran kedua Divisi Utama dan penyisihan Grup C Piala Indonesia.

Melakoni putaran kedua Divisi Utama, Persipasi seperti mesin diesel. Lamban panas di awal kompetisi. Tercatat Persipasi hanya mampu meraih satu poin pada tur Riau di dua laga awal putaran kedua. Grafik permainan Persipasi meningkat seiring rangkaian pertandingan kandang. Poin sempurna diperoleh dari empat pertandingan kandang.

Di ujung kompetisi, pasukan Warta seperti mengangkatkan kaki dari pedal gas. Melawan Persita dan Persikabo di kandang mereka, Persipasi hanya meraih dua poin hasil dari dua kali imbang. Beruntung peringkat kedua berhasil diraih (37 poin) dan menjadi tiket otomatis lolos ke delapan besar.

Petaka tak terduga justru terjadi di arena Piala Indonesia. Sebelum melakoni laga melawan Pelita Jaya, Persita Tangerang, dan Persib Bandung di Grup C, Persipasi sudah berniat mengalihkan pijakan kaki ke pedal rem. Warta beralasan, Piala Indonesia sebagai ajang pemanasan dan arena bagi pemain lapis kedua. Lolos tak lolos ke 16 besar tidak ada masalah bagi tim. Maklum, fokus Persipasi adalah bermain habis-habisan di delapan besar dan meraih satu tiket ke LSI.

Dalam perjalanannya, target itu justru meleset. Kaki Persipasi yang sedianya menginjak pedal rem justru gamang. Pertandingan melawan Persib begitu seksi untuk meningkatkan gengsi daerah dan mental pemain. Alih-alih menurunkan pemain lapis kedua, sejak melawan Pelita, Persita, hingga Persib, Persipasi sudah bermain dengan kekuatan inti.

Hasilnya, satu poin yang mereka dapatkan. Saat melawan Pelita Jaya yang berlangsung malam hari di Singaperbangsa, Persipasi loyo. Pipik yang menjaga gawang tak bermain apik dengan alasan matanya tak awas hanya dengan sorot lampu. Sedari awal Persipasi memang mengkhawatirkan laga malam yang tak biasa mereka lakoni.

Melawan Persita penampilan Persipasi tak berubah. Kegamangan menekan kaki pada pedal gas atau rem masih terlihat. Niat awal yang menjadikan Piala Indonesia hanya pemanasan jelang delapan besar menjadi penghalang. Di lain pihak, Persipasi juga ingin menunjukkan keperkasaannya dari anak-anak Tangerang. Kegamangan inilah yang membuat permainan Persipasi tak seperti biasanya. Bermain imbang 1-1 saat itu merupakan keberuntungan.

Puncak frustasi Persipasi terpapar saat melawan Persib. Ketua Umum Persipasi Mochtar Mohamad yang menstimulus pemain dengan giuran fulus ternyata tak mulus. Persipasi rontok diterkam Maung Bandung 4-0. El Loco menjadi taring yang sempurna untuk mencabik pertahanan Persipasi yang dikomandoi Firmansyah.

Mental pemain langsung terjun bebas. Niat awal bahwa Piala Indonesia hanya sebagai turnamen pemanasan justru membuat goyah internal tim. Mental pemain porak-poranda. Persoalan semakin runyam ketika pihak luar mulai berkomentar miring kepada para Laskar Patriot ini.

Asisten Pelatih Persija yang sudah mengenal seluk-beluk persepakbolaan Kota Bekasi, Maman Suryaman, langsung mengkritik kinerja pemain dan pelatih. Ia seolah membuka borok Persipasi dengan mengatakan performa fisik pemain yang anjlok saat melawan Persib. Yang monumental, Maman menyentil gaya kepelatihan Warta yang tidak keras mendisiplinkan pemainnya.

Dapur Persipasi menjadi panas. Keadaan ini diperparah dengan kabar yang menyesakkan; tiga pemain Persipasi, yakni Pipik Suratno, Arif Kurniawan, dan Mansur tertangkap basah bermain di ajang antarkampung (tarkam) tanpa sepengetahuan tim pelatih.

Di kalangan penggemar, suara-suara miring terhadap sikap Warta yang membebaskan pemainnya saat sedang tak berlatih atau bertanding, semakin berseliweran. Mulai dari ulah para pemain asingnya yang doyan jalan malam hingga tragedi kecelakaan sepeda motor yang tak perlu yang dialami Ruben Karel di penghujung putaran kedua Divisi Utama.

Guna mengeleminasi kritikan itu, Warta kemudian membawa timnya ke Lembang, Bandung selama seminggu. Fokus program training center (TC) yang dijalani di sana adalah memulihkan fisik dan mental pemain.

Lepas dari hasilnya apa, tim pelatih sudah sangat tepat dengan keputusan itu. Mental pemain yang jatuh disertai dengan fisik yang melemah memang seharusnya dipulihkan dengan suasana baru.

Dari beberapa pengakuan pemain, walaupun tak bisa diuji secara empiris, program TC di Lembang membuahkan hasil. Pemain senior Persipasi, Nuralim merasa fisik dan mentalnya memulih. Hal yang sama dilontarkan Arif Kurniawan dan Mansur. Pemain lapis kedua seperti Arnata juga menemukan ketajamannya setelah berlatih di Lembang.

Sekarang, tinggal bagaimana tim pelatih di bawah komando Warta memanfaatkan pulihnya fisik dan mental pemain. Pelatih juga harus bersikap bijaksana dengan kritikan yang datang dari berbagai penjuru. Jangan lantas ngambek.

Sepuluh hari jelang pluit delapan besar berbunyi Warta dkk masih punya waktu untuk menyusun strategi dan menakar kekuatan lawan. Jangan sampai permainan Persipasi berulang seperti saat melakoni Piala Indonesia. Dan patut digarisbawahi, kedisiplinan ada di atas segalanya.