Sabtu, 03 Juli 2010

Judi Provokasi

Selalu ada kejutan dari Diego Armando Maradona. Di saat Jerman pusing memikirkan bagaimana menghentikan liukan Lionel Messi, Sang Legenda justru asyik memamah cerutu sambil memantau anak asuhnya berlatih.

Sebelumnya, ia juga dengan santai berkomentar pedas tentang para pemain Jerman. Thomas Mueller yang masih berusia 20 tahun ia pandang tak lebih sebagai pemungut bola. Ia bahkan enggan untuk satu meja dengan pemuda tanggung ini saat konferensi pers. “Saya baru akan duduk di sana (meja konferensi pers, red.) jika si ballboy itu sudah selesai meracau.”

Gaya intervensi yang sangat khas Argentina. Negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya nyaris sama dengan Indonesia ini terkenal dengan silat lidahnya. Tak jarang mereka menggunakan gesture untuk meyakinkan pernyataanya. Bahkan pemain Jerman mengatakan, pasukan Tango pintar mengintervensi wasit.

“Lihat saja bagaimana mereka ikut campur saat wasit sedang berdiskusi dengan hakim garis (saat mengesahkan gol Tevez ke gawang Meksiko). Keahlian mereka memang seperti itu. Yang penting, kita jangan sampai terprovokasi. Kita harus fokus pada pertandingan,” jelas Bastian Scweinsteiger.

Sepak bola memang sarat dengan intrik. Sedikit kita terprovokasi pernyataan orang, walaupun itu tak ada hubungannya dengan teknis bermain, hasil akan berubah. Lihat saja bagaimana cara Jerman (Barat) memanipulasi sedemikian rupa ulah pribadi Johan Cruyff di Piala Dunia 1974.

Majalah terbitan Jerman Barat, Bild, sehari menjelang pertandingan final Piala Dunia 1974 mengangkat artikel berjudul provokatif, ”Cruyff, Sampanye, dan Gadis-gadis Telanjang”. Di dalam artikel itu, Johan kedapatan berpesta dengan gadis cantik di pinggir kolam renang hotel tim Belanda menginap.

Cruyff yang dikenal sangat cinta terhadap keluarga tersentak. Alih-alih berkonsentrasi mempersiapkan diri jelang laga final, ia justru sibuk menelpon istrinya, Danny Coster. Ia berusaha agar istrinya tak mempercayai artikel itu.

Simon Kuper pada majalah FourFourTwo edisi Juli 2009 menguatkan temuan Bild. Mengutip saudara Cruyff, Hennie, FourFourTwo mengabarkan, dering telepon hampir semalaman terdengar. Dan inilah pangkal masalah yang membuatnya letoy di final.

Jerman Barat berhasil mengintervensi Belanda secara psikologis. Mereka juga berhasil menggondol tropi Piala Dunia kala itu. Inilah contoh sempurna betapa perang psikologis sangat berdampak pada teknis pertandingan. Belanda yang kala itu memiliki temuan strategi yang brilian lewat total football harus kalah di tangan Jerman yang pantang menyerah dengan pertahanan berlapis yang digalang Berti Vogts.

Perang klasik itu kembali dihadirkan di lapangan. Di tanah Afrika Selatan. Argentina lebih agresif memberikan tekanan psikologis. Jerman yang merasa sangat santun ketika menanggapi serangan Argentina, justru mengemas perang batin ini dengan cara-cara lain.

Jerman punya cara yang lebih baru dalam mengintervensi hati tim lawan. Lihat bagaimana mereka bisa membelokkan keputusan wasit saat bola hasil tendangan Frank lampard jatuh sekitar 90 sentimeter di dalam gawang Neuer. Cermati sikap Neuer yang seolah bola itu tak pernah masuk. Dengar pula pengakuannya seusai pertandingan. “Saya sebenarnya mengetahui bola itu masuk, tapi saya sengaja bersikap seolah-olah bola itu tak pernah melewati garis gawang.”

Jerman dan Argentina adalah dua negara yang memiliki teknik bermain sepak bola yang setara. Malam ini, mereka akan bertarung di atas lapangan Stadion Green Point, Cape Town. Wasit yang akan memimpin laga kedua negara ini adalah Ravshan Irmatov asal Uzbekistan. Salah satu jalan untuk bisa melaju ke semifinal adalah cara-cara licik. Intervensi.

Hati-hati Irmatov! Bisa-bisa Anda akan menjadi kartu As pemain dari kedua kubu ini untuk memenangi pertandingan. Maklum, keduanya sudah terbukti lihai memprovokasi.

Mencari Batang Hidung Cruyff

Dua hari kita puasa pertandingan Piala Dunia. Televisi dan surat kabar melulu menampilkan ulasan pertandingan perempat final yang akan dilangsungkan mulai hari ini. Sambil, tentu saja, menyertakan gosip-gosip sebagai bahan pembicaraan pemirsa maupun pembaca di tempat kerja atau warung kopi.

Malam ini, saatnya kita larut kembali pada pertandingan. Porsi begadang harus kembali kita ambil agar tak melewatkan diri menjadi saksi sejarah sepak bola.

Malam ini pula, Belanda dan Brazil akan berjibaku meraih satu tempat di semifinal. Informasi paling gres yang bisa memperpanas laga keduanya adalah semifinal Piala Dunia 1998 di Prancis. Saat itu Brazil menang dalam tos-tosan, 4-2.

Kekalahan menyakitkan itu tentu akan memantik Belanda dan jutaan rakyatnya mengunyah dendam. Untuk kemudian memuntahkannya saat pluit panjang.

Di kubu Brazil, buruan rekor akan menjadi pemantik mereka untuk mengukuhkan kedigdayaan di ajang sepak bola. Raihan enam kali jawara Piala Dunia adalah motivasi terbesar mereka. Para pendukungnya tak sungkan-sungkan membawa tulisan "Barzil,6" di setiap laga yang dimainkan Pasukan Dunga. Tulisan yang akan terus mengingatkan Kaka cs untuk tetap pada rel juara.

Kesamaan motivasi tentu akan menghadirkan drama yang menarik saat keduanya bertanding di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth. Inilah yang ditunggu seluruh pecinta sepak bola di dunia.

Namun, akan lebih menarik lagi jika kita menengok gosip yang berkembang sebelum keduanya bertanding.

Belanda yang sedari babak penyisihan bermain aman dan merebut semua kemenangan, diguncang dengan pernyataan Robin Van Persie. Saat Pelatih Belanda Bert Van Marwijk menggantinya di 10 menit terakhir saat Belanda bertemu Slovakia, Robin tak rela. Sekonyong-konyong striker klub Arsenal ini melontarkan emosi dengan menyatakan bahwa rekannya Sneijder-lah yang layak diganti.

"Sneijder bermain lebih buruk dari diriku, tapi kenapa aku yang ditarik. Padahal aku sudah melihat rekahan-rekahan di barisan pertahanan Slovakia dan siap untuk mencetak gol."

Komentar Robin itu tertangkap mata dan telinga kamera dan langsung menyebar di surat kabar-surat kabar Belanda.

Publik Belanda kembali cemas. Memori buruk pertikaian internal jelang laga penting kerap membuat tim ini kalah.

Ingat bagaimana konflik antara pelatih Belanda sebelumnya, Guus Hiddink, yang bersitegang dengan Edgar David di Euro 1996. David yang kala itu menghina Hiddink saat konferensi pers langsung dipulangkan. Hasilnya, Belanda tersingkir.

Juga konflik Marco Van Basten saat mengarsiteki Belanda di Piala Dunia 2006. Ia berkonflik dengan Van Bommel, Seedorf, dan si bengal Ruud Van Nistelrooy. Ujung-ujungnya juga tersingkir.

Jelang kontra Brazil, konflik kembali pecah. Pemicunya Arogansi Persie. Lebih pelik lagi, konflik Persie dan Sneijder sudah menahun. Keduanya juga sempat bersitegang saat tragedi adu mulut yang memperebutkan siapa yang berhak mengeksekusi bola mati di sebuah laga Euro 2008. Belanda akhirnya tersingkir karena kalah dari Rusia.

Apakah ini sinyal kejatuhan kembali Belanda? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Yang jelas Marwijk sudah buru-buru menyatukan kompatriotnya dengan pertemuan intensif. Ia bahkan memanggil Persie-Sneijder untuk berbicara enam mata.

Beralih ke kubu Brazil. Di tim ini memang tak terdengar konflik internal, namun beberapa punggawanya digosipkan cedera. Gelandang bertahan andalan mereka Felipe Melo diragukan tampil. Juga tandem Kaka di lini tengah, Elano. Pemain Galatasaray ini divonis menderita cedera engkel kiri. Tulangnya tergores. Sebuah cedera yang langka diderita pesepakbola.

Ada lagi yang patut dicatat di sini. Pernyataan legenda sepak bola Belanda, Johan Cruyff, tiba-tiba mengusik skuadBrazil. Ia semena-mena menyatakan permainan Brazil tak layak tonton. Ia bahkan tak tertarik menyaksikan laga Brazil. "Saya tak akan pernah membeli tiket menonton pertandingan Brazil."

Pernyataan ini unik karena jauh-jauh hari Cruyff juga mempertanyakan filosofi sepak bola yang lama digoreng Belanda: total football. Ia kecewa Marwijk mengkhianatinya.

Dan saya ragu Cruyff tak mau menonton laga Brazil lawan Belanda. Diam-diam, mata kamera pasti akan mencari-cari di mana Cruyff kedapatan serius menonton pertandingan ini.(wandiudara.blogspot.com)