Selasa, 23 Maret 2010

Stanislavski

Sebagai seorang aktor amatiran zaman kuliahan, sutradara menyuruh saya lebih menghayati peran. Sudah satu bulan saya dianggap tak mampu menghayati peran yang saya mainkan. Pentas tinggal 1,5 bulan lagi. Satu bulan ke depan saya sudah harus menguasai peran. Kalau tidak, sutradara saya yang mantan aktor terbaik se-Jawa Barat itu akan murka. Dia akan mencaci saya dengan kalimat pisaunya.

Lalu disuruhnya saya mempreteli tokoh yang akan saya mainkan. Model latihan seperti ini menurutnya mengadopsi latihan yang ditemukan Constantin Stanislavski. Sutradara jenius dari Rusia sana. Bukannya latihan menghafal gerakan yang harus saya ikuti di atas pentas, saya malah disuruh membaca buku Stanislavski itu.

Satu minggu naskah saya tinggalkan hanya untuk mempreteli pribadi tokoh yang akan saya perankan. Saya dipaksa oleh sutradara, tepatnya Stanislavski, untuk mengembangkan tokoh. Menghidupkannya dengan pengalaman yang pernah saya temui. Setidaknya yang mendekati pengalaman tokoh. Saya seperti orang gila. Tugas saya hanya menghidupkan tokoh sesuai keinginan. Saya pelajari kebiasaan tokoh itu. Tak lupa saya sisipkan pula amarah tokoh yang saya buat meledak-ledak. Tanpa sadar, tekstur suara tokoh saya dapatkan dari proses ini.

Gerak-gerak kecil seperti jentikan jari, garuk-garuk pantat, atau deheman, saya dapatkan kemudian. Saya hiasi tokoh itu dengan pengetahuan yang saya dapatkan dari berselancar di internet. Singkat cerita, tokoh yang saya ciptakan di dalam kepala serta dilengkapi dengan riset pengalaman pribadi dan pengetahuan internet. Sutradara saya lalu tersenyum kecil.

Dan saya punya keyakinan, tiga pasangan calon presiden pun melakukan hal yang sama dengan saya. Sadar tak sadar, mereka menggunakan metode Stanislavski untuk memperkuat citra. Mereka tampil sedemikian rupa agar diterima sebagai pemeran presiden yang paling baik lima tahun ke depan. Tentunya diterima di depan ratusan juta masyarakat Indonesia.

Ambil contoh cara mereka berujar dalam iklan. Calon presiden nomor urut satu, Megawati Soekarno Putri “mencuri” pidato mendiang ayahnya yang memang dikenal sebagai sang orator ulung. Suara Mega dibuat kuat. “Sebarkan, sebarkan, sebarkan!” Mega berteriak sambil meninju langit di tengah hamparan sampah Bantar Gebang. Persis yang dilakukan Soekarno dalam pidato monumentalnya di Lapangan Banteng pada 18 Nopember 1957. Sayang, alih-alih menggelegar, suara Mega tinggi mendekati cempreng. Penonton, setidaknya saya, terbahak. Mega berhasil memuaskan penonton untuk gerr, tapi tidak berhasil secara keaktoran.

Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Iklannya dibuat dalam berbagai versi. Tapi, yang paling menggelikan adalah iklan dirinya bersama pasangannya, Boediono. Muka mereka putih. Tebalnya make up membuat wajah keduanya mendekati pucat. Mereka duduk lesehan mendengarkan keberhasilan yang diutarakan sepasang “masyarakat” yang mewakili latar belakang profesi. Dari nelayan sampai pendidik.

Citra yang ingin mereka tampilkan adalah sosok pemimpin yang mengayomi. Keberhasilan pemerintah yang dirasakan dan diutarakan masyarakat dijawab Yudhoyono dengan rendah hati. “Justru saya yang harus berterima kasih kepada para guru karena mereka telah bekerja tulus,” begitu kira-kira kalimat yang dipilih Yudhoyono untuk menebalkan citranya yang santun. Lagi-lagi saya menghela nafas, dengan iklan yang berulang-ulang ditayangkan di berbagai stasiun televisi itu.

Untuk pasangan nomor urut tiga, Jusuf Kalla, saya mengambil contoh lain. Untuk mendongkrak citranya, Kalla mengangkat sutradara dari kalangan selebritis: Tantowi Yahya. Sikap dan gerak tubuh Kalla dipantau Yahya. Sebagai tokoh dari luar Jawa, Kalla tak ingin citranya kalah dengan Yudhoyono yang didukung mitos bahwa pemimpin “selalu” berlatar belakang Jawa. Tentu dengan embel-embel santunnya. Kalla ingin mematahkan mitos itu.

Gerak tangannya lalu dirombak. Intonasi suaranya dipermak. Kalla yang meledak-ledak saat berpidato, dibuat santun oleh Yahya. “Jangan terlalu cepat saat sedang berpidato, Pak Presiden. Artikulasi Bapak justru tak terdengar jelas oleh penonton. Intonasi yang cepat juga bisa mencitrakan Bapak sebagai pemimpin yang sembrono.” Saya berimajinasi seperti itulah cara sutradara Yahya mengarahkan aktornya. Maklum, Kalla terkenal dengan pidatonya yang meledak-ledak, cepat, dan kerap tak tertangkap dengar.

Yahya dengan santun juga meminta agar Kalla jangan terlalu lama berdiri saat berpidato. Untuk urusan ini, keduanya sempat bersilat pendapat. Kalla berasumsi lamanya dia berdiri akan membangun citra dirinya masih kuat walaupun sebagai calon presiden tertua di antara dua kandidat lain. Yahya justru berargumen beda. Terlalu sering Kalla berdiri, menurutnya, justru berpeluang melahirkan kesalahan-kesalahan gerak yang berujung over acting.

Untungnya, ada solusi dari perdebatan di belakang panggung itu. Yahya tetap menerima argumen Kalla dengan catatan Kalla hanya berdiri ketika menjawab pertanyaan. Jika tak ada pertanyaan, Kalla duduk. Ini dilakukan agar gerak-gerak yang tidak perlu saat tak ada pertanyaan bisa diminimalisasi.

Apakah para calon pemimpin Indonesia ini sukses menjalankan metode akting yang disarankan Stanislavski itu? Saya tak tahu. Saya hanya ingat waktu sutradara saya tersenyum kecil begitu saya selesai memainkan peran. Segala metode yang sudah Stanislavski ajarkan, saya turuti. Tapi, tetap saja, sutradara saya yang mantan aktor terbaik se-Jawa Barat itu malah menghina saya. "Kamu terlalu asyik dengan tubuh," ujarnya pendek.

Apakah saya salah menerapnya metode akting dari sutradara monumental Rusia itu? Sutradara saya tak menjawab. Ia malah menyodorkan buku akting lain karangan Richard Boleslavsky.(*)

Noor Din

Tayang Insert di TransTV edisi Minggu (27/9/2009) mengingatkan saya betapa momen penting mengalahkan berita penting. Dalam Topsert (survei terbatas yang dilansir acara itu), berita kematian Noor Din dkk kalah mentereng dibandingkan berita sungkeman lebaran para artis. Sungkeman para artis berhasil duduk sebagai pemuncak statistik dengan raupan pemirsa hingga 32 persen. Sedang berita kematian Noordin hanya diminati 27 persen.

Valid atau tidaknya survei tersebut, saya sedikit tak acuh. Setidaknya, kematian buron nasional itu ternyata tak terlalu diminati masyarakat. Saya sendiri lebih peduli dengan persiapan saya ber-Lebaran di rumah orang tua. Motor saya harus bisa mengangkut oleh-oleh untuk orang rumah dalam sekali jalan.

Noor Din meninggal pada penggerebekan (yang seolah-olah) tak terencana pada 17 September di Solo. Tiga hari sebelum Idul Fitri. Pada saat berita kematian Noor Din dilansir, saya sedang melihat ratusan sepeda motor berjejer di pelataran kantor kerja saya di bilangan Bekasi. Mereka hadir memenuhi undangan operator Telkomsel yang mengadakan acara "Mudik Motor". Diiringi dentuman musik dangdut, para pemudik sibuk menyiasati barang bawaannya tertempel ketat di pantat motor.

Saya beruntung berkantor di depan jalur lintas pantai utara. Di lantai tiga kantor, saya bebas menghitung seliweran lalat besi yang tak henti-hentinya menjauh dari Jakarta. Di jalur inilah para pemudik mempertaruhkan nyawa demi menuju kampung halaman.

Mengenai berita kematian Noor Din, lagi-lagi saya tak begitu memperhatikan. "Paling polisi salah duga lagi seperti saat penggerebekan di Temanggung," begitu saya berpikir.

Dugaan saya meleset. Polisi berhasil membekuk Noor Din hingga mulutnya menganga karena berondongan tembakan. Pipinya lebat bulu. Kumisnya tumbuh liar hampir menutup bibir. Foto yang ditunjukkan polisi persis seperti foto yang ditebar di seantero nusantara. Noor Din mati setelah sembilan tahun menebar mesiu.

Saya tak habis pikir, kematiannya begitu cepat. Apalagi setelah saya tahu informasi bahwa Noor Din dan tiga teroris langsung lumpuh dalam tiga jam saat sahur melewati Subuh. Matahari belum beranjak benar.

Toh, tetap saja “film pendek” itu tak membuat saya tertarik lagi. Seperti juga mungkin para pemudik yang malam itu saya perhatikan. Mereka masih sibuk merekat lem pada kardus untuk dibawa sebagai oleh-oleh di kampung. Tak ada obrolan tentang Noor Din saat mereka berkemas. Mereka malah tergesa karena 10 menit lagi Ridho Rhoma yang disewa Telkomsel akan melepas mereka di garis start.

Bergegas, kota mereka tinggalkan. Berita pun sudah tak penting lagi. Entah itu berita tentang kematian Noor Din dkk maupun kecelakaan di sepanjang jalur mudik. Tatapan orang tua dan sanak saudara lebih penting. Karena, dua-tiga hari ke depan (setelah Lebaran), mereka harus kembali lagi. Kembali menelan berita pahit lagi tentang (kekejaman) kota. Tanpa harus banyak bertanya.

Ada Lobi di Tubir Kompetisi

Pernyataan Sekjen PSSI di awal Maret lalu seperti petir di siang bolong bagi masyarakat Kota Bekasi. Betapa tidak, Persikabo tiba-tiba terlepas dari hukuman pengurangan tiga poin musim ini (2009-2010). Padahal, sesuai klausul awal, dan rekomendasi FIFA, nilai Persikabo musim ini harus dikurangi karena kasus pemutusan kontrak Ndjee Bakena Noah pada musim 2008-2009.

"Musim lalu, nilai Persikabo sudah dikurangi. Jadi, musim ini tidak dikurangi lagi," ujar Nugraha, pada 5 Maret lalu di harian Jawa Pos (Grup Radar Bekasi). Masih menurut Nugraha, hukuman untuk Persikabo disebabkan kesalahan komunikasi antara PSSI dan PT Liga Indonesia.

Ironisnya, pernyataan Nugraha terlontar sehari setelah manajemen Persikabo merapat ke PT Liga Indonesia. Berdasarkan berita yang termuat di Radar Bogor tertanggal 5 Maret berjudul “Termotivasi Penghapusan Sanksi”, Ketua Umum Persikabo Racmat Yasin dan General Manajer Persikabo, Mas'an Djadjuli, mendatangi sekretariat PT Liga Indonesia di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Kedatangan mereka tidak lain dalam rangka melobi petinggi PT LI untuk membatalkan pengurangan poin.

Dan upaya itu berhasil. Simak pernyataan Mas’an berikut, masih dikutip Radar Bogor. “Alhamdulillah setelah rembukan, poin kita tidak dikurangi lagi, tapi tetap dengan perolehan kita selama musim ini. Pengurangan poin hanya berlaku untuk tahun lalu."

Pernyataan tersebut tentu sangat menyakitkan Persipasi yang saat ini bercokol di peringkat kedua Grup I Liga Joss Indonesia dengan nilai 35. Apalagi pernyataan tersebut keluar pada detik-detik terakhir persaingan memperebutkan tiket delapan besar di empat besar grup I antara Semen Padang, Persipasi, Persita, dan Persikabo.

Lebih mengherankan lagi, pernyataan Nugraha tidak sejalan dengan klasemen sementara yang dirilis di situs ligaindonesia.co.id. Setidaknya, hingga tulisan ini dibuat, poin Persikabo masih terpotong. Di laman itu, poin Laskar Padjadjaran masih 31 dari 10 kali menang dan 4 kali seri (seharusnya sudah diganti menjadi 34 poin).

Ada apa dengan PT Liga Indonesia dan PSSI? Lobi awal Maret dari pengurus Persikabo itu tentu harus ditelusuri. Mengapa tiba-tiba Nugraha melontarkan pernyataan itu? Dan yang lebih mencurigakan, pernyataannya mencabut hukuman Persikabo dilakukan sehari setelah manajemen Persikabo mendatangi PT LI. Ini tentu harus diusut!

Dengan penghapusan sanksi ini, tim asal Bogor itu sekarang merangsek ke peringkat ketiga karena di saat bersamaan Persita tumbang di kandang Persih 2-0. Hanya terpaut satu poin dari Persipasi yang saat ini berada di peringkat kedua dengan 35 poin.

Masyarakat Kota Bekasi semakin tersakiti karena pada pertandingan terakhir, Persipasi harus menyambangi Persikabo di Stadion Cibinong pada 30 Maret nanti. Ini tentu akan menjadi beban berat bagi Laskar Patriot yang merasa dicurangi. Suporter Persipasi pun bisa jadi akan datang dengan amarah yang berlipat. Akan lebih rumit lagi jika wasit yang memimpin pertandingan cenderung berpihak pada tuan rumah.

Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan, hendaknya PT LI dan PSSI segera memperjelas sanksi yang diberikan pada Persikabo. Jika ini dibiarkan, Liga Joss Indonesia akan tercoreng. PSSI akan semakin dicap sebagai lembaga yang tak becus menangani sepak bola.(*)

Selasa, 16 Maret 2010

Puncak-Puncak Kecil

Berkaca pada Persipasi, olahraga Kota Bekasi sepertinya butuh pembinaan lebih awal. Kita bisa lihat bagaimana tiga pemain lokal Persipasi, sebut saja, Nuralim, Firmansyah, dan Mardiansyah yang sekarang menjadi pilar Laskar Patriot. Ketiganya sudah “menjadi” atlet matang dan siap untuk dipetik.

Mereka matang karena ditempa kompetisi. Tanpa kompetisi, mustahil seorang atlet mampu meraih prestasi. Kurang apa pengalaman Nuralim. Pemain yang malang-melintang di berbagai klub papan atas ini terbukti tangguh di lini belakang. Ia juga mampu menembus starting eleven Timnas dan pernah ditahbiskan sebagai libero terbaik Indonesia.

Dulu, kompetisi olahraga, tak melulu sepak bola, selalu diselenggarakan dari mulai tingkat RT. Entah itu bulu tangkis, tenis meja, bola voli, hingga catur. Seorang anak SD akan sangat senang ketika dirinya didapuk sebagai juara tingkat RT. Walaupun skalanya kecil, toh ia senang karena mampu mencapai puncak tertinggi.

Ya, kesuksesan terbentuk dari puncak-puncak kecil itu. Ia tak datang bak air bah yang langsung meluluhlantakkan daya nalar. Menjadi olahragawan adalah bagaimana memanipulasi fisik, dan teknik tentunya, dengan tujuan akhir menjadi nomor satu. Yang terdepan. Dan patut diingat, semua dibutuhkan kerja keras yang jalannya selalu memutar dan berliku untuk mencapai satu titik tertinggi.

Untuk bisa melewati jalan terjal itu dibutuhkan kompetisi. Puncak-puncak kecil sebagai batu loncatan para atlet perlu diciptakan oleh pemangku kebijakan. Pemerintah Kota Bekasi harus gencar lagi menghidupkan kompetisi sejak dini. Tak perlu banyak dana dan tak perlu hadiah wah. Yang terpenting buat para pemula adalah sebuah apresiasi.

Satu contoh kecil, betapa Turnamen Asosiasi Sekolah Sepak Bola Kabupaten Bekasi (ASSKAB) mampu membuat para pesertanya berjuang sekuat tenaga. Skala turnamen ini boleh jadi kecil. Semata mempertandingkan pemain yang bernaung di sekolah-sekolah sepak bola. Tapi, lihat dampaknya. Para pemain, terutama yang berhasil menjadi juara, langsung memiliki semangat berlipat untuk loncat ke kompetisi yang lebih tinggi.

Baru-baru ini pemerintah daerah pun menyelenggarakan Liga Pendidikan Indonesia (LPI). Tapi sayang, pesertanya sedikit. Padahal kompetisi ini menjanjikan jenjang karir yang serius. Panitia seakan alpa dan mungkin berorientasi lain sehingga penyelenggaraan LPI tak punya greget.

Di Hari Jadi ke-13 Kota Bekasi ini semoga para pemangku kebijakan di bidang olahraga kembali berkaca. Kembali membumikan harapan untuk meloncat dengan cita-cita yang tinggi. Mulailah sesuatu dari bawah. Karena, sebuah kesuksesan tak akan berarti tanpa ada kompetisi-kompetisi kecil yang sedari awal bertujuan (hanya) menancapkan semangat pada para calon atlet. Dari semangat yang terus bertumpuk itu, boleh jadi akan lahir seorang atlet yang kuat dan mampu mengharumkan Bekasi di kemudian hari.(*)

Selasa, 02 Maret 2010

Akrobat Divisi Utama

Seperti akrobat, penampilan Persipasi turun-naik. Saat ini, titik putaran sedang ada di puncak selepas kemenangan besar atas PSSB Bireun. Skor 7-2 adalah angka fenomenal di Liga Joss Indonesia. Padahal, seminggu sebelumnya Persipasi tak berdaya melawan dua tim papan tengah Persih Tembilahan dan Persires Riau di kandang mereka. Tim yang disebut terakhir bahkan mampu mengalahkan Laskar Patriot walaupun gaji pemain belum dibayar tiga bulan.

Banyak alasan yang bisa mengemuka atas prestasi yang njomplang ini. Dari internal tim, masuk akal jika persoalan yang mendera tim saat melakoni laga tandang adalah faktor kelelahan, tak gampang adaptasi dengan daerah baru, dan (yang tak terlihat adalah) keberpihakan wasit.

Patut digarisbawahi adalah persoalan keberatsebelahan wasit yang cenderung untuk tuan rumah. Persoalan yang seperti tidak ada namun terasa. Tak pernah terbukti namun jadi pembicaraan nasional. Bahkan PSSI mengklaim, mafia wasit di Indonesia berpusara di Divisi Utama atau Liga Joss Indonesia.

Persoalan ini bahkan disebut-sebut sebagai ajang pengalihan isu dari santernya berbagai pihak untuk menggulingkan Ketua Umum PSSI dan silang-sengkarut kompetisi sepak bola di tanah air saat Kongres I PSSI pada medio Januari lalu di Bandung.

Begitu tim bermain di kandang, persoalan internal tim itu seperti bisa terpecahkan. Kelelahan bukan persoalan utama. (Persoalan) tak gampang adaptasi, apalagi. Itu tak patut dijadikan alasan untuk tak tampil maksimal di tempat di mana setiap orang meneriakkan dan menyemangati Anda.

Nah, soal keberpihakan wasit-lah yang selalu memperumit tuan rumah. Menyisipkan atau tidak menyisipkan “amplop” ke saku wasit, tuan rumah akan selalu dicurigai jika menang.

Sedikit kesalahan tak disengaja wasit yang menguntungkan tuan rumah kemudian akan diperbesar tim tamu untuk menuding wasit. Bahkan di Liga Champion, tak jarang pelatih mencaci atas kekeliruan sang pengadil. Tim sekelas Arsenal sempat frustasi dengan keputusan wasit Martin Hansson saat mereka kalah atas FC Porto di Stadion Do Dragao, kandang Porto, dalam leg pertama 16 besar Liga Champion.

Akhirnya, adil di dunia sepak bola sama rumit seperti di kehidupan nyata. Tim kecil yang tak punya dana memengaruhi wasit mungkin harus menerima keputusan alakadarnya. Atau hanya mengumpat sebagai pelepas kekecewaan. Selebihnya, tak mampu berbuat apa-apa. Hal yang sama terjadi pada tim besar yang merasa dicurangi ketika kalah di kandang lawan. Sedapat mungkin mereka akan memprotes.

Namun, kekecewaan itu sebatas ritual. Ketika keputusan sudah digariskan, dunia sepak bola sepertinya sudah berhenti di ujung pluit wasit. Keputusan di atas lapangan, walaupun itu sangat keliru, sah di mata hukum sepak bola. Tengok saja, sangat sedikit dan bisa dikatakan tidak ada tim yang sanggup mengubah keputusan wasit. Walaupun ada, akhirnya berujung pada kekerasan.

Di sisi lain, wasit dilihat sebagai personal juga tak kuat dengan sistem seperti ini. Ia merasa sebagai korban. Saya pernah bercakap dengan seorang mantan wasit yang kebetulan bertemu selepas menonton salah satu pertandingan Divisi Utama.

“Siapa bilang wasit tak tertekan dengan semua yang dituduhkan setiap tim. Kami tertekan,” katanya. Ia melanjutkan, “Dari pengalaman saya, setiap wasit ingin cepat-cepat menyelesaikan pertandingan begitu memasuki masa injury time.”

“Persoalannya, bukan berapa tim bisa membayar kami, tapi seberapa aman kami bisa keluar pertandingan dengan kepala mulus tanpa lemparan dari penonton atau pukulan dan sepakan dari tim yang kecewa.”

Dari pengakuan itu saya kemudian bertanya, siapa yang patut dipersalahkan dengan merajalelanya praktik mafia wasit? Semua pihak merasa terancam keamanannya. Badan tertinggi sepak bola Indonesia pun merasa namanya tercoreng dengan praktik ini. Padahal mereka adalah lembaga yang punya otoritas untuk menyelesaikan hal ini.

Selama praktik mafia wasit tak bisa teratasi, selama itupula setiap tim di Divisi Utama akan terus berakrobat. Tak terkecuali Persipasi.

Sekarang saat berpikir, bagaimana caranya berakrobat dengan benar dengan hati nurani. Khusus Persipasi, semoga hasil positif saat melawan PSSB merupakan titik pijak untuk berpikir bahwa kemenangan bisa diraih di manapun. Bahkan di kandang lawan jika tim diracik dengan tepat dan tetap mempertahankan semangat. Ingat, suara suporter tak terbatas hanya saat di kandang saja. Ia bisa menggema hingga ke pelosok-pelosok stadion jauh di luar kandang.(wandiudara.blogspot.com)