Sabtu, 08 Januari 2011

Tawaran Pluralitas Palalangon

Natal di Palalangon tak ubahnya seperti perayaan Lebaran. Anak-anak bergembira mengenakan pakaian baru. Berlari lintang-pukang di halaman gereja sambil menunggu orang tua mereka selesai beribadat.

Natal di Palalangon pun tak seperti di kota besar. Tak ada penjagaan ketat petugas. Jalannya ibadat berlangsung khidmat dengan kicauan burung dan suara gemerisik daun yang diterpa angin.

Natal di Palalangon juga menyisakan banyak pertanda tentang sebuah cita-cita luhur suku sunda yang senang hidup rukun, damai, dan sejahtera. Dengan khotbah dari pendeta yang banyak menyerukan perdamaian di atas perbedaan.

Pada mulanya keterasingan. Demikian yang diungkapkan Pendeta I Putu Suwintana usai memimpin malam kudus, sehari sebelum Natal, Jumat (24/12). Dia menceritakan awal berdirinya Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon yang terletak di Kampung Palalangon RT 02/09 Desa Kertajaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur.

"Kehadiran Kristen tak lepas dari intimidasi baik secara ekonomi, politik, maupun primordial," Putu menjelaskan. Dan kehadiran Gereja Palalangon pun tak lepas dari semangat mengasingkan diri. Ini dilakukan agar umat Kristen di tatar Sunda bisa terselamatkan dari gejolak yang berkembang masa itu.

Pencarian lokasi penyelamatan akhirnya dilakukan seorang pengabar injil dari Belanda, BM Alkema. Dia memang datang ke Jawa Barat untuk menyelamatkan umat Kristen yang ada tercerai berai tersebut dengan menyatukan mereka kembali.

Dalam misinya mengajak tujuh orang pribumi yang berasal dari Jawa Barat. Pencarian dimulai dengan menyusuri sungai Cisokan di sebelah utara Cianjur yang diteruskan ke selatan menyusuri Sungai Citarum.

Setelah satu minggu pencarian akhirnya ditemukan sebuah tempat yang agak lapang. Itupun ditemukan tak sengaja akibat salah satu anggota rombongan terperosok. Sebuah tanah lapang dengan kontur seperti punggung kura. Tempat itu dirasa cocok untuk memberi tempat bagi penganut Kristen.

Di tempat ini mereka hidup damai dan bisa menjalankan ibadah dengan leluasa. Penduduk setempat yang jumlahnya tak banyak pun amat toleran dengan perbedaan. Hal ini membuat banyak warga Priangan, baik dari Bogor, Sukabumi, Jakarta, hingga Banten berurbanisasi ke sana.

Pada 1902 barulah dibangun sebuah gereja dan Palalangon dikukuhkan sebagai nama gereja sekaligus nama kampung. Menurut warga sekitar, Palalangon diambil dari bahasa sunda yang berarti 'panggung yang luhur'. Nama tersebut dipilh Alkema karena sesuai dengan kontur tanah serta sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi warga Kristen.

Pada perkembangannya, banyak penduduk yang membangun rumah dekat gereja itu. Mau tak mau hubungan kekerabatan mereka jalin sejak saat itu. Sikap toleransi berkembang lambat-laun. Tak sadar, masing-masing pihak saling menghormati ritual agama mereka. "Dari awal agama Kristen berkembang di sini, tak pernah sekalipun ada konflik. Tak salah dinamai sebagai Palalangon," kata Ucu Suwarna Miun, Ketua 1 Majelis Jemaat GKP Palalangon.

Bola salju kekerabatan ini semakin menggelembung setelah pihak satu dengan pihak lain melebur. Entah dalam status pernikahan maupun persahabatan. Jadilah dalam satu keluarga lumrah ada yang beragama Islam maupun Kristen.

Di Pelalangon saat ini, sudah ada sebanyak 370 kepala keluarga yang menganut kristen dari 7 kk pada 108 tahun lalu. Sebagian besar mereka menghadiri kebaktian yang dilakukan Jumat lalu. Mereka datang berbondong-bondong tanpa memakai kendaraan bermotor. Ini membuat suasana gereja sangat tenang.

Sepengetahuan Ucu yang sudah hidup di Palalangon sejak tahun 1950-an ini tak ada konflik keagamaan yang terjadi di Palalangon.

Pendapat ini diperkuat dengan penuturan Aiptu Kurnadi dari Polsek Ciranjang yang sudah bertugas sejak 1985. Ditemui saat sedang bersantai sambil menjaga keamanan gereja pada Sabtu (25/12), Kurnadi menceritakan bahwa tak ada satu pun konflik besar yang terjadi karena perbedaan agama. "Orang di sini hidup rukun. Kondisi ini diperkuat
dengan masih adanya hubungan kekerabatan antara penganut agama Islam
dan Kristen," kata pria asli Subang ini.

Kalaupun ada konflik, itu hanya riak-riak kecil. Pendeta Putu mengatakan konflik kecil ini biasanya dilontarkan oknum yang menghina salah satu agama. Hal ini bukan masalah bagi warga sekitar. Selain kontraproduktif, warga di sana sudah paham dengan niat busuk dari sebagian kecil masyarakat yang tidak ingin melihat adanya kerukunan.

"Jika ada masalah, kami selalu mengembalikannya pada musyawarah. Kami selalu melibatkan tiga aparat, aparat desa, kepolisian, dan babinsa. Biasanya masalah bisa langsung dimediasi," jelas Putu.

Hubungan kekerabatan yang justru terus terjalin erat. Lewat berbagai aktivitas, mulai dari bakti sosial, perayaan hari-hari besar Islam maupun Kristen, hingga pesta panen yang biasanya dilakukan Agustus.

"Contoh kecil pada acara pengobatan gratis di gereja beberapa waktu lalu. Yang hadir bukan hanya warga beragama Kristen. Mereka tak sungkan untuk datang ke gereja," Kata pria asli Bali ini.

Pada kebaktian malam kudus menjelang Natal, walaupun petir menggelegar, ibadat tetap jalan. Umat tetap khusuk mengikuti prosesi keagamaan. Mungkin ini pertanda bahwa di Palalongan, isu perpecahan tak terasa.(*)

Penunggu Cirata

Rumah di Tengah Danau Berhalaman Kolam
“Jika saya punya tanah di daratan, lebih baik saya memilih tinggal di sana. Membesarkan anak seperti orang-orang lain,” ujar Ayub Cahyadi (57 tahun) pertama kali menyadari dia harus tinggal di Waduk Cirata.

Ayub, ayah lima orang anak dan tujuh orang cucu, memilih hidup di atas Cirata karena terdesak ekonomi. Mantan sopir truk ini terpaksa tinggal di hamparan Waduk Cirata karena perusahaan tempat dia kerja gulung tikar akibat embusan krisis ekonomi pada 1997.

Daripada tak punya pekerjaan dan tak bisa menghidupi keluarga, Ayub kemudian menerima tawaran kakaknya menjadi penjaga kolam ikan di Waduk Cirata pada 1999. Cirata pada saat itu tak seperti Cirata masa sekarang. Suasana masih hutan. Datang ke sana saja enggan, apalagi untuk tinggal dan mencari nafkah.

“Awalnya saya tak betah. Tempatnya sangat gelap. Tapi karena terdesak dan juga faktor umur, saya terpaksa hidup di sana,” ujar Ayub saat ditemui di kediamannya di tengah Waduk Cirata Sektor Cilincing Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur, akhir Desember lalu.

Lama kelamaan, dia semakin akrab dengan Cirata. Lambat-laun, dari yang hanya sebagai penjaga, Ayub bisa mencicil untuk membuat kolam sendiri. Dia juga semakin betah tinggal di atas danau karena bisa membangun rumah yang bisa ia perluas sesukanya. Tanpa takut terkena semprot penghuni lain karena di atas waduk tak perlu menyerobot tanah milik orang lain.

Sebelas tahun tinggal di Cirata, Ayub sudah memiliki 3,5 unit kolam atau 14 petak kolam yang ia tanami ikan emas dan ikan nila. Dari jumlah itu, sedikitnya dia bisa menghasilkan 14 ton ikan dalam tiga bulan. Dan itu cukup untuk menghidupi keluarganya. Bahkan, dia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Tinggal di atas danau bukan berarti tanpa kesulitan. Apalagi bagi orang yang terbiasa tinggal di darat. Ayub bercerita, paling susah mendapatkan air bersih untuk minum. Pertama kali tinggal di sana, Ayub harus membeli air jauh ke jalan besar di Ciranjang. Meminum air waduk amat berisiko. Ayub hanya berani memakai air waduk untuk mandi, itu pun harus sudah disaring memakai saringan khusus yang ia beli seharga 2 juta rupiah.

“Sekarang untuk membeli air minum sudah gampang karena banyak penjual air isi ulang yang jaraknya tidak jauh dari sini,” kata Ayub yang juga memelihara dua anjing dan merpati di sekitar rumahnya sebagai cara menghilangkan rasa sepi.

Lalu bagaimana dengan listrik? Pertama kali tinggal di sana, Ayub harus rela dengan penerangan lampu minyak. Tapi belakangan dia sudah mampu membeli diesel untuk menghidupkan listrik minimal.

Perkara izin mendirikan bangunan, itu pun bisa diatur. Rumah pria asli Betawi ini sudah tercatat sebagai rumah tinggal di RT 03//09 Kelurahan Kertajaya Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Pajak rumah dihitung dari jumlah kolam yang ia miliki. Per tahun Ayub mengaku membayar pajak sebesar 196 ribu rupiah.

“Keuntungan tinggal di waduk, kami tak pernah terkena banjir,” ujarnya. Terang saja, rumahnya berdiri di atas pelampung superbesar. Rumah apung ini pun dilengkapi 26 jangkar yang terbuat dari batu yang dimasukkan ke karung. Satu karung jangkar masing-masing seberat 2 kuintal.

Pelampung dan jangkar itulah sebagai kunci agar rumahnya tak tenggelam dan tak bergerak. Jangkar pun sangat membantu jika air waduk surut maupun pasang. “Saya tinggal tarik-ulur jangkar saja sesuai debit air,” ujarnya enteng.

Saat ini, Ayub merupakan satu di antara 2 ribu penghuni di Waduk Cirata. Sebagian besar memang tak seperti Ayub yang berniat membangun rumah dengan harga mencapai 57 juta rupiah. Sebagian besar hanya menghuni beberapa bulan saja hingga ikan dipanen, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk bertemu keluarga mereka.

Selain penghuni, di Cirata juga terdapat warung kelontong dan restoran ikan air tawar, bahkan penginapan. Warung kelontong sangat dibutuhkan para penghuni sekitar jika ada kebutuhan mendesak seperti membeli beras ataupun membeli kebutuhan untuk mandi.

Sedangkan restoran dan penginapan dibangun seiring adanya kunjungan wisatawan. Walaupun tak banyak seperti wisata di tempat-tempat komersil, pada hari libur pasti ada beberapa orang yang datang sekadar untuk mencicipi ikan bakar.

Jika mereka malas untuk pulang, mereka bisa menyewa kamar barang satu atau dua hari dengan harga terjangkau. Dijamin suasananya bakal berbeda dan sensasional.(*)

Wisata Ganjil Waduk Cirata

Suasana Pagi di Waduk Cirata Sektor Cilincing

Sejatinya waduk Cirata tak diciptakan untuk sebuah tempat wisata. Para perencananya pun mungkin tak terpikir kalau waduk buatan seluas 6.200 hektar itu menjadi lahan pengembangbiakan ikan air tawar yang menghasilkan ribuan ton pertahun. Dia diciptakan hanya untuk memenuhi cadangan listrik yang konon hingga sekarang belum juga terpenuhi.

Dan siapa yang menyangka apabila di atas waduk tersebut ada orang yang sedia menggantungkan hidupnya. Berkeluarga di atasnya. Bahkan memelihara anjing maupun merpati sebagai penghilang rasa sepi di saat malam menyelimuti waduk. Di situlah, mungkin, sebuah wisata dimulai. Dari sebuah kemurnian. Keterkejutan sejarah.

Wisata di Cirata dibangun oleh serba ketidaksengajaan. Bahkan pencemaran yang dilakukan oleh penghuni maupun zat kimia yang berasal dari turbin yang menghasilkan listrik, juga bisa disebut wisata. Betapa menyayat hati melihat ikan-ikan yang mengambang di permukaan waduk. Bukan hanya puluhan, tapi ratusan ikan terhampar karena terpapar timbal.

Waduk Cirata merupakan waduk terbesar di Jawa Barat. Luasnya mampu menjangkau tiga kabupaten, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bandung Barat. Waduk ini dibuat untuk membangkitkan listrik melalui tenaga air (PLTA). Perusahaan Listrik Negara (PLN) sengaja menenggelamkan lahan milik untuk ditanami air. Butuh waktu lima tahun terhitung sejak 1982 hingga 1987 untuk membuat waduk ini.

Dari Cirata PLN mampu menghasilkan listrik berkekuatan 6 x 151 megawatt. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan tambahan listrik pertahun yang mencapai 3.000 megawatt. Jika airnya sedang surut, listrik yang dihasilkan pun semakin sedikit.

Koran Jakarta kebetulan menyambangi Waduk Cirata di sektor Cilincing Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur. Untuk mencapai waduk ini pengunjung harus melewati jalan yang amat sempit sepanjang enam kilometer dari Jalan Raya Ciranjang. Jalan menuju ke waduk sebagian besar belum beraspal, terutama di satu kilometer terakhir.

Di sektor Cilincing mungkin tak akan terpikir bahwa waduk ini merupakan pembangkit tenaga air. Di sini kita hanya melihat sebagian besar waduk tertutup kolam-kolam ikan. Antara satu kolam dengan kolam lain hampir saling berhimpitan. Letaknya yang tak teratur membuat waduk terlihat kumuh.

Dari seorang penghuni bernama Gumilar (24 tahun) atau lebih ingin dipanggil Bejo diceritakan bahwa waduk ini mulai dijamuri para penambak ikan sejak 1997. Krisis keuangan yang melanda Indonesia membuat waduk ini ramai. Bahkan orang-orang tak segan membangun rumah di atasnya. Awalnya untuk menunggu kolam, namun lama-kelamaan menjadi tempat tinggal tetap karena tak kunjung mendapat tempat di daratan.

“Dulu hanya satu-dua. Itupun penduduk sekitar sini. Tapi sejak krismon (krisis moneter, red.) waduk ini diserbu banyak orang,” kata Bejo dengan logat khas sunda.

Bisa dibilang, Bejo adalah generasi pertama yang memilih tinggal Cirata sektor Cilincing. Sejak umur lima tahun Bejo sudah diajak ayahnya tinggal di Cirata. Dia diperkenalkan bagaimana membuat kolam dan menanam ikan. Di Cirata pula cintanya dengan penduduk sekitar tumbuh. Hingga dia dikaruniai seorang anak lelaki dan tetap berkomitmen untuk tinggal di kolam itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Bejo membangun warung kelontong yang mengapung di atas waduk.

Warung Bejo satu-satunya di Cirata sektor Cilincing. Dia bersama istrinya menjual segala perabotan yang dibutuhkan para petani ikan. Mulai dari sabun mandi hingga camilan berupa mie instan rebus layaknya warung kopi.

Sebenarnya pekerjaan utamanya menjaga kolam. Warung yang ia bangun hanya sampingan. Dia juga memiliki beberapa rakit untuk disewakan bagi para pemancing sebagai tambahan penghasilan. Dari pekerjaan sampingan ini dia bisa membeli sebuah kapal motor yang ia pergunakan untuk transportasi dan sesekali disewakan bagi para pengunjung.

Waduk Cirata banyak dikuasai orang luar kota. Mereka berlomba-lomba membuat kolam. Tanpa ada pungutan resmi, asal bisa membangun kolam, mereka bisa menguasai waduk. Itu makanya orang-orang luar kota yang berduit amat mudah membangun kolam di sana.

Seorang pemancing, Yono (29) mengatakan hanya dengan uang 12 juta rupiah, siapa pun bisa membuat kolam di Cirata. Izin membuat kolam tinggal minta terhadap oknum, membayar seadanya, kolam pun tinggal dibangun.

Dengan Modal sebesar itu, orang bisa membuat satu kolam dengan empat petak. Satu petak, berukuran sekitar 7x7 meter, bisa ditanami maksimal 30 kilogram bibit ikan. Dalam tiga bulan, bibit ikan sudah bisa dipanen dengan berat rata-rata mencapai 1 ton.

“Biasanya, para penambak menanam dua jenis ikan, ikan emas dan nila. Selain cepat panen, kedua jenis ini dinilai resisten terhadap limbah,” kata Bejo.

Betapa menggiurkan bisnis ikan di waduk ini. Tak heran jika ada sebanyak 200 ribu petak kolam yang tersebar di waduk Cirata. Dan rata-rata pemiliknya dari luar kota seperti Kota Bandung, Jakarta, maupun luar Jawa.

Kondisi ini juga dikeluhkan I Putu Suwintana. Dia adalah pendeta di Gereja Palalangon yang berlokasi tak jauh dari waduk itu. “Penduduk di sini bahkan tak merasakan sama sekali manfaat dari keberadaan waduk itu. Bahkan untuk menikmati listrik yang dihasilkan dari sana,” jelas Putu yang sudah tinggal sejak 2008.

Warga di sekitar Gereja Palalangon pun lebih memilih menjadi buruh tani dibandingkan menambak ikan.

Di balik invasi orang-orang luar, waduk Cirata tetap memiliki eksotisme yang masih tersembunyi. Hampir 20 tahun tinggal di Cirata, Bejo fasih membaca perilaku waduk itu. Bejo bertutur bahwa waduk ini punya sifatnya tersendiri. Salah satu ciri khas wadu ini adalah pada Januari hingga Februari air waduk biasanya menjadi putih seperti air beras. Angin baratlah yang menyebabkan air waduk seputih air beras.

Menurut ayah beranak satu ini, putih air waduk disebabkan lumpur dari dasar waduk naik ke atas. “Anginnya juga sangat besar. Saat angin barat berhembus, biasanya virus datang dan membuat ikan-ikan di sini mati,” kata Bejo.

Pada dua bulan ini pula para penambak ikan yang bergantung pada Waduk Cirata, cemas. Ikan-ikan bergelimpangan, baik di dalam maupun di luar kolam. Para pemancing juga cemas karena tangkapan mereka berkurang.

Lengkap sudah wisata di Waduk Cirata. Pengunjung disuguhi bukan dengan keindahan waduknya, tapi cerita yang terhampar di atasnya. Wisata yang ditawarkan Cirata adalah wisata yang berwujud perilaku manusia yang serakah. Ditambah ornamen manusia-manusia danau yang menggantungkan hidup di atasnya hanya karena terhimpit kebutuhan ekonomi.(*)