Kamis, 09 Juni 2011

Korban Kopkamtib Tolak RUU Intelijen

(Logo diambil dari Wikipedia)
Korban kekerasan yang dilakukan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menolak Rancangan Undang-Undang Intelijen yang saat ini dibahas di tingkat Panitia Kerja Komisi 1 DPR.

Penolakan dilakukan karena mereka tak setuju dengan beberapa pasal yang disinyalir bisa membuat lembaga intelijen kembali seperti Kopkamtib pada masa Orde Baru yang sewenang-wenang menyiksa korban.

“Kalau disahkan, kami khawatir UU ini akan menjadi payung hukum untuk menangkap orang-orang kritis,” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan Tahun 1965-1966 (YPKP) Bedjo Untung, di Jakarta, Rabu (8/6).

Bedjo sebenarnya tak masalah dengan pengaturan terhadap intelijen, namun dia tak setuju jika dalam regulasi masih terdapat pasal tentang kewenangan intelijen menyadap dan melakukan pemeriksaan intensif selama 7x24 jam. Menurutnya, RUU tersebut juga harus tegas menyatakan siapa yang menjadi lawan negara.

Dan sebelum disahkan, Bedjo berharap RUU Intelijen disosialisasikan ke publik agar publik, khususnya para korban kekerasan aparat intelijen, mengetahui.

Tahrin, korban kekerasan Peristiwa 1965, juga menolak jika Juli ini RUU Intelijen disahkan. “Kami sendiri belum tahu detail peraturan itu, tapi kenapa ada wacana Juli ini akan disahkan,” katanya.

Umar, korban kekerasan Peristiwa 1965, juga ingin memastikan bahwa RUU Intelijen harus berpihak kepada rakyat. “Selama tak berpihak kepada rakyat, jangan harap UU ini berhasil membela rakyat,” katanya.

Peneliti dari Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan setidaknya ada lima hal yang harus diperbaiki sebelum RUU Intelijen disahkan.

Pertama terkait dengan kewenangan khusus yang meliputi pasal penangkapan dan pemeriksaan intensif. Kedua, definisi tentang informasi intelijen yang masih sumir. Ketiga, harus dimasukkan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap aparat intelijen. Keempat, harus dijelaskan fungsi Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN).

“Jangan sampai pembentukan LKIN itu justru mengulang pembentukan Kopkamtib seperti masa Orde Baru,” kata Puri. Terakhir, Kontras juga melihat RUU tersebut belum ada mekanisme koreksi yang harus diawasi sebuah komisi independen yang anggotanya tidak hanya dari anggota DPR.

“Kami sebenarnya setuju dengan adanya UU Intelijen, tapi UU tersebut harus memasukkan prinsip-prinsip demokratik, rule of law, dan melindungi hak asasi manusia,” katanya.

Rencananya, Kontras bersama YPKP akan mengirim petisi ke Komisi 1 yang isinya beberapa hal yang tadi disebutkan. Kontras dan YPKP juga mengirim surat ke Komisi 1 agar diajak berdiskusi tentang RUU Intelijen.

“Kalau ternyata permintaan diskusi dan pasal yang kita tolak itu tetap dimasukkan, kami berencana membuat aksi di depan gedung DPR,” kata Peneliti di bidang Advokasi Kontras, Krisbiantoro.

Intelijen Bukan Penegak Hukum
Secara terpisah, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono mengatakan intelijen bukan lembaga penegak hukum. Dia melihat RUU Intelijen memandang intelijen sebagai institusi penegak hukum. “Intelijen itu tugasnya mencegah sesuatu sebelum kejadian bahaya terjadi,” katanya.

Untuk itu, dia berharap RUU Intelijen memasukkan aturan bagaimana aparat intelijen bisa mencegah terjadinya bahaya. Di RUU tersebut juga harus ada penjelasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan intelijen. “Jadi, jangan pada ranahnya hukum, intelijen kan tidak ada urusannya untuk menghukum dan menangkap,” katanya.

Regulasi yang mengatur tentang intelijen tambahnya harus menitikberatkan pada usaha untuk membantu aparat intelijen dalam mencegah terorisme. Sayangnya, RUU Intelijen yang saat ini sedang dibahas cenderung hanya mengatur BIN. “Aparat intelijen kan bukan hanya ada di BIN, tapi ada juga di TNI, kepolisian, imigrasi, bea dan cukai, atau kejaksaan,” katanya.(way)

Senin, 06 Juni 2011

Tentang Oligarki, Rizal Ramli, dan Sri Mulyani

Tentang Oligarki, Rizal Ramli, dan Sri Mulyani

(Wawancara dengan Jeffrey A Winters)

Profesor Jeffrey A Winters berbicara memukau di Rumah Integrasi di Jalan Latuharhary Nomor 16, Jakarta Pusat pada Jumat, 3 Juni 2011. Pengajar di Departemen Ilmu Politik Northwestern University, Amerika Serikat, ini diundang Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) yang tidak lain adalah lembaga yang punya kecenderungan kuat mendukung Sri Mulyani Indrawati. Di Rumah Integrasi itu pun, foto-foto mantan menteri keuangan ini mejeng dengan ukuran besar.

Ratusan orang menyempatkan diri mendengar pemikiran seorang indonesianis ini walaupun ruangan sangat pengap karena pendingin yang tak berfungsi. Dengan hanya mengenakan kaus hijau dan jeans, Jeffrey berceloteh panjang mengenai kelahiran oligarki (bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat) di Indonesia. Bahasa Indonesianya lancar, terkadang penulis buku Dosa-Dosa Politik Orde Baru ini mengambil perumpamaan yang cerdas untuk menggambarkan pikirannya.

Berikut adalah wawancara selama 5 menit 49 detik selepas kuliah umum. Pada wawancara ini, selain tentu saja menanyakan tentang para oligark (pelaku oligarki atau bisa juga diterjemahkan sebagai pengusaha pengisap kekayaan Indonesia) yang banyak dibahas dalam buku terbarunya Oligarchy, saya dan satu teman mencoba memintanya untuk menakar siapa sosok yang cocok memimpin Indonesia.

Berikut petikan lengkap wawancara tersebut:

Anda mengatakan, sesudah Partai Komunis Indonesia, tidak ada partai politik yang mampu memobilisasi massa?Maksud saya, hanya pernah dalam sejarah Indonesia ada dua kasus, dua contoh partai yang punya akar rumput, yakini Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Keduanya punya sifat lain selain elitis. Dan sejak PKI, tidak pernah ada partai atau organisasi yang punya massa akar rumput. Semua bersifat elitis dan menengah ke atas.

Dan tidak hanya itu. Kalau boleh saya mengkritisi gerakan mahasiswa di Indonesia, segala upaya untuk membuat baik di Indonesia, justru mereka yang paling elitis dan paling alergi dengan masyarakat. Karena mereka menganggap ada batasan kampus, di mana batasan kampus itu sama dengan tembok yang tinggi sekali.
Dan saya mengerti bahwa mahasiswa suka bicara atas nama rakyat, tapi cobalah campur langsung dengan rakyat. Itukan lain lagi.

Caranya?Selama ini, mahasiswa paling bisa bergabung dengan mahasiswa lain. Sampai di situ. Tetapi mahasiswa terlibat langsung sebagai leader of the people, belum terjadi. Dan saya rasa mahasiswa hanya bisa benar-benar mewujudkan posisi sejarah mereka kalau mereka bisa mengatasi limitation ini.

Jadi apa yang salah di Indonesia ini? Apa yang mesti diperbaiki?Menjinakkan oligarkinya.

Dengan cara?Memperkuat sistem hukum

Apakah selama ini sistem hukum di Indonesia belum kuat?Hampir tidak ada.

Sistemnya atau orangnya?Enggak, maksud saya, kalau kita definisikan sistem hukum yang kuat dan definisi cukup kuat untuk membuat orang kuat tunduk terhadap hukum, jelas Indonesia gagal. Jadi, jangan kita mengukur sistem hukum dari apakah orang biasa tunduk kepada hukum. Karena setiap hari orang biasa tunduk kepada hukum. Yang menjadi ukuran, apakah orang yang paling kuat di Indonesia tunduk kepada hukum? Dan sampai sekarang itu tidak terjadi.

Seberapa besar ancaman oligarki buat politik di Indonesia?Mungkin tidak ada ancaman yang lebih daripada itu. (Ancaman datang dari) Oligarki liar, bukan oligarki saja. Oligarki liar yang tidak tunduk terhadap hukum. Jadi, yang perlu oligarki jinak di Indonesia.

Apakah karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat juga?Soal kepemimpinan, jelas Soeharto sebagai pemimpin bisa menjinakkan oligarki, tetapi kita lihat juga, untuk masa depan panjang Indonesia itu jalan buntu. Karena, orang tidak membangun sistem. Yang perlu, sistem yang lebih kuat daripada orang.
Dan yang diciptakan Soeharto justru orang yang lebih kuat daripada sistem. Yang diwariskan dari zaman Soeharto dan Orde Baru, justru institusi-institusi yang hancur total dan tidak mampu untuk mengendalikan orang yang paling kuat di Indonesia.
Jadi, harus dibangun sistem, bukan orang. Jelas dengan membangun sistem. Namun, itu harus dibantu oleh leader yang tegas, kuat. Orang yang tegas dan kuat itu justru harus bertugas untuk membangun sistem yang kuat, bukan kekuasaan dia sendiri.

Untuk membuat sistem yang kuat harus dimulai dari mana?Saya tidak punya instruction book untuk how to do it. Indonesia harus mencari caranya yang khas. Indonesia sendiri. Konteks Indonesia, sejarah Indonesia, kebudayaan Indonesia dan seterusnya.
Jadi saya tidak bisa katakan, ‘this is how you do it’. Indonesia sendiri harus mobilisasi dan cari sendiri. Kalau ini ga jalan, coba yang ini, coba yang lain. Don’t give up. Saya yakin bisa menang. Don’t give up.

Untuk Pemilihan Umum 2014 idealnya seperti apa?Idealnya Rizal Ramli.

Kenapa?Karena saya menganggap dia leader yang luar biasa, eeee (jeda sebentar), dalam sejarahnya dia, eeee, membuktikan bahwa dia berani ambil risiko, tidak takut siapapun dan selalu konsisten dalam prinsip untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sri Mulyani?Ee (jeda sebentar lagi), Sri Mulyani juga bagus.

Di antara mereka?Ee (kembali jeda untuk berpikir), kenapa harus pilih di antara mereka. Kenapa tidak digabung saja berdua. Hehehe, itu lebih bagus lagi..hahahaha.(***)