Iseng-iseng saya buka sejumlah artikel terkait kasus pajak yang menimpa PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Maklum, ini merupakan sarana belajar saya mengenai kasus pajak yang membelit mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo itu. Hadi diumumkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak lama setelah dia pensiun sebagai kepala BPK.
Awalnya saya tak
menyangka jika ternyata ada pemasukan sebesar Rp3,29 triliun yang berhasil
ditagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atas pengalihan piutang
macet BCA pada 1998. Ini tantangan buat saya untuk mencari lebih jauh informasi
tentang permasalahan pajak yang sedang menimpa Hadi. Mengapa justru BPPN yang
menerima pemasukan sebesar Rp3,28 triliun dan
bukan BCA? Ada apa dengan BCA pada tahun 1998?
Usut punya usut,
dari fakta yang ada, pada 1998, BCA ternyata mengalami kerugian fiskal sebesar
Rp29,2 triliun akibat dari krisis ekonomi. Berdasarkan undang-undang yang
berlaku, kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan (tax loss carry forward)
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut, sampai dengan lima tahun.
Dalam kategori
sebagai bank takeover (BTO), berdasarkan instruksi Menteri dan Gubernur BI,
segala wewenang, direksi, komisaris, RUPS, dan total aset, termasuk piutang
macet dan jaminannya senilai Rp5,77 triliun milik BCA, dialihkan ke BPPN.
Berarti BCA pada tahun 1998, dalam statusnya sebagai bank takeover, sepenuhnya
berada di tangan BPPN. Inilah alasannya mengapa BPPN akhirnya bisa mendapatkan
pemasukan Rp3,29 triliun.
BCA lalu
mengajukan keberatan pajak sesuai undang-undang terhadap koreksi laba fiskal
periode 1999 yang dilakukan Ditjen Pajak sebesar Rp6,78 triliun.
Pertanyaan saya
adalah seandainya keberatan pajak atas koreksi pajak tidak diterima, apakah
negara akan mengalami kerugian? Ternyata tidak. Alasannya, masih ada sisa
penghasilan (taxlosscarryforward) uang yang dapat dikompensasi sebesar Rp2,04
triliun
Yang mengejutkan
saya adalah fakta bahwa negara malah mendapat keuntungan Rp3,29 triliun karena
sejak piutang macet dan jaminannya senilai Rp5,77 triliun yang dialihkan ke
BPPN melalui perjanjian jual beli, ternyata berhasil ditagih BPPN sebesar
Rp3,29 triliun.
Artinya, BCA
sama sekali tidak menerima penghasilan terkait penagihan piutang macet itu karena
statusnya sebagai BTO.
Saya juga
menemukan fakta lain, yakni sebelum melakukan IPO pada 2000, BCA ternyata telah
mendapat ‘taxclearence’ bahwa telah melaksanakan seluruh kewajiban selaku wajib
pajak. Lalu, di manakah letak kerugian negara tersebut?
Mari kita buka
sejumlah berita yang mengangkat kronologis proses pajak ini. Portal Kompas.com,
Liputan6.com, Republika.co.id, dan Kontan.co.id pada 22 April 2014 memberitakan
bahwa BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun yang merupakan
akibat dari krisis ekonomi yang melanda Tanah Air.
Berdasarkan
undang-undang yang berlaku, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan alias taxlosscarryforward mulai tahun pajak berikutnya hingga 5
tahun.
Selanjutnya,
berdasarkan pemeriksaan pajak pada 2002, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak
telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp
6,78 triliun. Di dalam nilai itu, ada koreksi terkait transaksi pengalihan
aset, termasuk jaminan Rp5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli
dengan BPPN sesuai Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No
SP-165/BPPN/0600. Hal ini dilakukan sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan
No 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank
Indonesia No 31/15/KEP/GBI tanggal 26 Maret 1998.
Transaksi pengalihan aset itu merupakan jual beli
piutang, tetapi Ditjen Pajak menilai transaksi itu sebagai penghapusan piutang
macet. Sehubungan dengan hal itu, pada 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan
kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan. Keberatan itu
dinyatakan dalam SK No KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18
Juni 2004.
Ini persoalan
perbedaan pendapat, soal sengketa pajak antara BCA dan Ditjen Pajak. Sementara,
BCA telah melakukan pengajuan keberatan pajak sesuai undang-undang maupun
peraturan perpajakan yang berlaku.Yang jelas, negara tidak dirugikan, malah ada
tambahan pemasukan sebesar Rp3,29 triliun.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar